BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Kelenjar prostat merupakan bagian
organ tubuh yang ada pada sistem reproduksi pria. Fungsi utama kelenjar prostat
adalah untuk memproduksi semen (air mani) yang berisi nutrisi sekaligus alat
transpor bagi sperma keluar dari tubuh. Terdapat tiga masalah medis yang biasa
terjadi pada prostat yaitu pembesaran prostat, peradangan pada kelenjar prostat
(prostatitis), dan kanker prostat (Furqan, 2013).
Pembesaran kelenjar prostat sering
juga disebut BPH (Benign Prostatic Hyperplasia /tumor prostat jinak) adalah
pertumbuhan berlebihan dari sel-sel prostat yang tidak ganas. BPH merupakan
suatu pembesaran prostat yang disebabkan bertambahnya struktur kelenjar dan
jaringan ikat. Pembesaran prostat secara normal terjadi pada semua pria dewasa
disebabkan oleh hormon. Hal ini sangat umum terjadi pada pria, dan hampir
setengah dari semua pria dewasa, terutama di atas 50 tahun menimbulkan gejala (Purnomo,
2012).
Menurut beberapa referensi, sekitar
90 persen laki-laki yang berusia 40 tahun ke atas mengalami gangguan berupa
pembesaran kelenjar prostat. Pembesaran prostat berbeda dengan kanker prostat.
Pembesaran prostat mungkin tidak menimbulkan gejala, tetapi jika tumor ini
terus berkembang, pada akhirnya akan mendesak uretra yang mengakibatkan rasa
tidak nyaman pada penderita. Pembesaran prostat dapat menyebabkan gangguan saat
kencing. Jika tidak diobati, maka akan menghambat aliran urin dari kandung
kemih dan pada akhirnya menimbulkan masalah pada kandung kemih, saluran urin
dan ginjal. BPH adalah tumor jinak pada pria yang paling sering ditemukan (Arisandi,
2012).
Pembesaran prostat terjadi karena
ketidakseimbangan hormonal pada usia lewat dewasa. Sebanyak 70% pria berusia 70
menderita keluhan prostat. Pertambahan usia dan penurunan fungsi penguraian
bisa menyebabkan peningkatan hormon tersebut, sehingga ukuran kelenjar prostat
akan terus bertambah. Angka kejadian (prevalensi) kasus pembesaran prostat
jinak (benign prostatic hyperplasia/BPH) di Indonesia sekitar 20% terjadi pada
pria berusia 41-50 tahun. Prevalensi itu meningkat hingga 50% pada pria 51-60
tahun dan bertambah lagi hingga 90% pada pria di atas 80 tahun (Furqan, 2013).
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
atau dalam bahasa umumnya dinyatakan sebagai pembesaran prostat jinak (PPJ),
merupakan suatu penyakit yang biasa terjadi. Di dunia, diperkirakan jumlah
penderita BPH sebesar 30 juta, jumlah ini hanya pada kaum pria karena wanita
tidak mempunyai kalenjar prostat (emedicine, 2015).
Di Amerika Serikat, terdapat lebih
dari setengah (50%) pada laki laki usia 60-70 th mengalami gejala BPH dan
antara usia 70-90 th sebanyak 90% mengalami gejala gejala BPH (Suharyanto &
Abdul, 2011)
Jika dilihat secara epidemiologinya,
di dunia, menurut usia, maka dapat di lihat kadar insidensi BPH, pada usia
40-an, kemungkinan seseorang menderita penyakit ini sebesar 40%, dan seiring
meningkatnya usia, dalam rentang usia 60-70 tahun, persentasenya meningkat
menjadi 50% dan diatas 70 tahun, persen untuk mendapatkannya bisa sehingga 90%.
Akan tetapi, jika di lihat secara histology penyakit BPH, secara umum sejumlah
20% pria pada usia 40-an, dan meningkat pada pria berusia 60-an, dan 90% pada
usia 70 (A.K. Abbas, 2015).
Di Indonesia, BPH menjadi urutan
kedua setelah penyakit batu saluran kemih, dan secara umumn, diperkirakan
hampir 50% pria Indonesia yang berusia di atas 50 tahun ditemukan menderita BPH
ini. Oleh karena itu, jika dilihat, dari 200 juta lebih rakyat indonesia, maka
dapat diperkirakan 100 juta adalah pria, dan yang berusia 60 tahun dan ke atas adalah
kira-kira sejumlah 5 juta, maka dapat dinyatakan kira-kira 2,5 juta pria
Indonesia menderita penyakit (Purnomo, 2011).
Jumlah penderita BPH secara pasti
belum bisa dinyatakan tetapi secara prevalensi di RS, contohnya di RS Cipto
Mangunkusumo ditemukan 423 kasus BPH yang dirawat selama tiga tahun (1994-1997)
dan di RS Sumber Waras sebanyak 617 kasus dalam periode yang sama (Arisandi, 2011).
Selain itu Kanker prostat, juga merupakan salah satu
penyakit prostat yang sering dtemukan dan lebih ganas dibanding BPH yang hanya
melibatkan pembesaran jinak prostat. Kenyataan ini adalah berdasarkan
prevalensi terjadinya kanker prostat di dunia secara umum dan Indonesia
khususnya. Secara umum, di dunia, pada 2003, terdapat kurang lebih 220.900
kasus baru ditemukan, dimana sejumlah 29.000 kasus diantaranya berada di tahap
membunuh (A.K. Abbas, 2015) . Seperti BPH, kanker prostat juga menyerang pria berusia lebih
dari 50. Secara khususnya di Indonesia, menurut (WHO,2011), untuk tahun 2008, insidensi terjadinya
kanker prostat adalah sebesar 12 orang setiap 100,000 orang, dan menduduki
peringkat keempat setelah kanker saluran napas atas, saluran pencernaan dan
hati. Dari data dan alasan diatas, maka penulis tertarik untuk mengambil kasus “Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah pada Tn. K. dengan Post Op. Open Prostatectomy H0 at
Causa Benigna Prostat Hyperplasia di Bangsal Melati RSUD Panembahan Senopati,
Bantul.”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas maka penulis mengambil rumusan masalah “Bagaimana Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah pada Tn. K. dengan Post Op. Open Prostatectomy H0 at
Causa Benigna Prostat Hyperplasia di Bangsal Melati RSUD Panembahan Senopati, Bantul.
1.3 Tujuan
1.
Tujuan Umum
Mendapat gambaran secara nyata dalam memberikan asuhan keperawatan medikal
bedah pada kasus Post Op. Open Prostatectomy
H0 at Causa Benigna Prostat Hyperplasia sesuai dengan standar keperawatan
melalui pendekatan proses keperawatan.
2.
Tujuan Khusus
a.
Mampu memberikan asuhan
keperawatan medikal bedah pada pada Tn. K. dengan Post Op. Open Prostatectomy H0 at
Causa Benigna Prostat Hyperplasia di Bangsal Melati RSUD Panembahan Senopati,
Bantul meliputi : pengkajian, data fokus, analisa data, perioritas diagnosa,
intervensi/perencanaan keperawatan, implementasi/pelaksanaan, dan evaluasi
keperawatan.
b.
Mampu mendokumentasikan asuhan
keperawatan medikal bedah pada Tn. K. dengan Post Op. Open Prostatectomy H0 at
Causa Benigna Prostat Hyperplasia di Bangsal Melati RSUD Panembahan Senopati,
Bantul.
1.4 Ruang lingkup
Adapun ruang lingkup studi kasus ini,
meliputi :
1.
Lingkup Mata Ajar
Lingkup kasus yang
diambil penulis dalam laporan ini membahas asuhan keperawatan medikal bedah
pada Tn. K. dengan Post Op. Open Prostatectomy H0 at Causa Benigna Prostat Hyperplasia di Bangsal Melati
RSUD Panembahan Senopati, Bantul sejalan dengan teori keperawatan medikal bedah.
2.
Lingkup Waktu
Asuhan keperawatan dilaksanakan 3x24 jam pada tanggal 7-10 maret 2016.
3.
Lingkup Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan ini dilakukan dengan proses keperawatan yang meliputi
pengkajian, data fokus, analisa data, perioritas diagnosa,
intervensi/perencanaan keperawatan, implementasi/pelaksanaan, evaluasi, dan
dokumentasi keperawatan.
1.5 Metode
1.
Metode Penulisan
Dalam penulisan, metode yang dipakai adalah metode diskriptif yaitu
suatu metode yang dilakukan dengan tujuan utama untuk gambarkan atas diskriptif
tentang suatu keadaan secara subjektif (Notoatmodjo, 2012).
2.
Tehnik Pengumpulan Data
a.
Observasi
b.
Wawancara
c.
Pemeriksaan fisik
d.
Studi kasus
e.
Studi dokumentasi
1.6 Manfaat
1.
Bagi Penulis
Laporan ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman belajar nyata
dalam memberikan asuhan keperawatan medikal bedah kepada klien.
2.
Bagi Profesi Keperawatan
Sebagai sarana atau bahan pertimbangan asuhan keperawatan secara
professional, khususnya asuhan keperawatan pada klien dengan Post Op. Open Prostatectomy
H0 at Causa
Benigna Prostat Hyperplasia.
3.
Bagi Rumah Sakit atau Tempat
Praktek
Sebagai bahan pertimbangan bagi perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan medikal bedah pada klien dengan Post
Op. Open Prostatectomy H0 at Causa Benigna Prostat Hyperplasia
4.
Bagi Instansi Pendidikan
Sebagai bahan referensi dan dapat menambah wawasan dalam memberikan
asuhan keperawatan medikal bedah pada klien dengan Post
Op. Open Prostatectomy H0 at Causa Benigna Prostat Hyperplasia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KONSEP TEORI
1. Pengertian
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat
nonkanker, (Corwin, 2000). Hiperplasia
prostat jinak (BPH) adalah
penyakit yang disebabkan oleh penuaan. Price&Wilson (2005).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesanan prostat
yang jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atauhiperplasia
fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun
secarahistologi yang dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David C,2004)
Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar
prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat
meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan
penyumbatan uretra pars prostatika (Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994
: 193).
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara
umum pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi
uretral dan pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000 : 671).
BPH (Hiperplasia prostat benigna) adalah suatu keadaan di mana kelenjar prostat
mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat
aliran urin dengan menutup orifisium uretra. BPH merupakan kondisi patologis
yang paling umum pada pria. (Smeltzer dan
Bare, 2002)
2.
Etiologi
Etiologi BPH belum jelas namun terdapat faktor resiko umur dan
hormon androgen. Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria
usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang akan terjadi
perubahan katologik anatomi yang pada pria usia 50 tahun angka kejadian sekitar
50%, usia 80 tahun sekitar 80% dan usia
90 tahun 100%.
Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :
a.
Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen
menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
b.
Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan
hormon estrogen dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
c.
Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau
fibroblast growth factor dan penurunan transforming
gro =q2334erdfc wth factor beta
menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
d.
Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan
lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
e.
Teori sel stem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi
sel transit (Roger Kirby, 1994 : 38).
3.
Gejala Benigne Prostat
Hyperplasia
Gejala klinis yang
ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai Syndroma
Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
a.
Gejala Obstruktif yaitu :
1) Hesitansi yaitu memulai
kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh
karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan
tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
2) Intermitency yaitu terputus-putusnya
aliran kencing yang disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam
pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.
3) Terminal dribling yaitu
menetesnya urine pada akhir kencing.
4) Pancaran lemah :
kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan waktu untuk dapat
melampaui tekanan di uretra.
5) Rasa tidak puas setelah
berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
b.
Gejala
Iritasi yaitu :
1) Urgency yaitu perasaan
ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
2) Frekuensi yaitu
penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam hari
(Nocturia) dan pada siang hari.
3) Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
4. Patofisiologi
Perubahan mikroskopik pada prostat telah
terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini
berkembang, akan terjadi perubahan patologi anatomi yang ada pada pria usia 50
tahunan. Perubahan hormonal menyebabkan hiperplasia jaringan penyangga stromal
dan elemen glandular pada prostat.
Teori-teori tentang
terjadinya BPH :
a.
Teori Dehidrosteron (DHT)
Aksis
hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi dehidrosteron (DHT) dalam sel
prostat menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT ke dalam inti sel yang
menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga menyebabkan terjadinya sintesa protein.
b.
Teori hormon
Pada
orang tua bagian tengah kelenjar prostat mengalami hiperplasia yamg disebabkan
oleh sekresi androgen yang berkurang, estrogen bertambah relatif atau aabsolut.
Estrogen berperan pada kemunculan dan perkembangan hiperplasi prostat.
c.
Faktor interaksi stroma dan epitel
Hal
ini banyak dipengaruhi oleh Growth factor. Basic fibroblast growth factor
(b-FGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang
lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostat jinak. Proses reduksi ini
difasilitasi oleh enzim 5-a-reduktase. b-FGF dapat dicetuskan oleh
mikrotrauma karena miksi, ejakulasi dan infeksi.
d.
Teori kebangkitan kembali (reawakening) atau
reinduksi dari kemampuan mesenkim sinus urogenital untuk berploriferasi dan
membentuk jaringan prostat.
Proses
pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada
saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah
terjadi pembesaran prostat, resistensi urin pada leher buli-buli dan daerah
prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan merenggang sehingga timbul
sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi.
Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran
kemih atas.
Adapun
patofisiologi dari masing-masing gejala yaitu :
1)
Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan
resistensi uretra adalah gambaran awal dan menetap dari BPH. Retensi akut
disebabkan oleh edema yang terjadi pada prostat yang membesar.
2)
Hesitancy (kalau mau miksi
harus menunggu lama), terjadi karena detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk
dapat melawan resistensi uretra.
3)
Intermittency (kencing
terputus-putus), terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi resistensi
uretra sampai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa belum
puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urin yang banyak dalam
buli-buli.
4)
Nocturia miksi pada malam hari) dan frekuensi
terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval
antar miksi lebih pendek.
5)
Frekuensi terutama terjadi pada malam hari
(nokturia) karena hambatan normal dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan
uretra berkurang selama tidur.
6)
Urgensi (perasaan ingin miksi sangat
mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi) jarang terjadi. Jika ada
disebabkan oleh ketidak stabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi
involunter,
7)
Inkontinensia bukan gejala yang khas,
walaupun dengan berkembangnya penyakit urin keluar sedikit-sedikit secara
berkala karena setelah buli-buli mencapai complience maksimum, tekanan dalam
buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan spingter.
8)
Hematuri biasanya disebabkan oleh oleh
pecahnya pembuluh darah submukosa pada prostat yang membesar.
9)
Lobus yang mengalami hipertropi dapat
menyumbat kolum vesikal atau uretra prostatik, sehingga menyebabkan pengosongan
urin inkomplit atau retensi urin. Akibatnya terjadi dilatasi ureter
(hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap, serta gagal ginjal.
10) Infeksi
saluran kemih dapat terjadi akibat stasis urin, di mana sebagian urin tetap
berada dalam saluran kemih dan berfungsi sebagai media untuk organisme
infektif.
11) Karena
selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli, Batu
ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri. Batu tersebut
dapat pula menimbulkan sistiitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi
pielonefritis.
12) Pada
waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan
hernia dan hemoroid.
5. Pathways
5. Pathways
6. Pemeriksaan
dan Diagnosa
a.
Pemeriksaan
buli-buli
1)
Inspeksi
buli-buli : Ada / tidaknya penonjolan perut di daerah supra pubik (buli-buli
penuh / kosong).
2)
Palpasi
buli-buli : Tekanan di daerah suprapublik menimbulkan rangsangan ingin kencing
bila buli-buli bersih / penuh. Teraba massa yang kontraktil dan “ballotlement”
3)
Perkusi :
Buli-buli yang penuh berisi urin memberi suara merdu.
b.
Colok
dubur.
c.
Laboratorium
: Dl, Ul, kultur urin, kreatinin serum, B, U, N
d.
Flowmetri :
Flowmeter adalah alat khusus untuk mengukur pancaran urin dengan
satuan ml / detik. Penderita dengan sindroma prostatisme perlu diperiksa dengan
flowmetri sebelum dan sesudah terapi.
Penilaian : • F maks < 10 ml / dt obstruktif • F maks 10-15 ml
/ dt bordeline • F maks >15 ml / dt non obstruktif
e.
Radiologis
: I.V. P dengan foto buli-buli pre dan post muksi posisi obligue ini dikerjakan
bila prextatisme masih mungkin disebabkan oleh hal lain. Bila diagnosa klinis
sudah jelas BpH, hanya dikerjakan foto polos abdomen.
f.
Kateterisasi
: mengukur “rest urine”.
g.
Ultrasonografi
h.
Uretra-sistoskopi
7. Diagnosa
Banding
a.
Prostatotis.
1)
Keluhan :
disuria, urgensiPemeriksaan fisisk : - colok dubur prostat tidak membesar, lunak,
nyeri tekan.
2)
Setelah
kencing “rest urine”
b.
Keganasan
prostat
1)
Keluhan :
disuria, urgensi, hematuria, retensi urine
2)
Pemeriksaan
fisik : - colok dubur : prostat membesar, terdapat nodul yang soliter ataupun
difus dan lebih besar.
c.
Striktur
uretra
d.
Batu uretra
posterior
8. Komplikasi
a.
Infeksi
saluran kemih (ISK)
b.
Obstruksi
intravertikal : - Pada buli-buli Trabekulasi, divertikuli, terbentuk batu
buli-buli pada ginjal Hindronetrosi
9. Penatalaksanaan
a.
Konservativ
: bila gejala klinis hanya ringan dan tidak pragresif
b.
Medika
mentosa
1)
Indikasi :
BPH
dengan gejala prostatisme ringan dan belum memenuhi indikasi operatif
2)
Macam obat
:
a)
Golongan x
1 adrenergik “ blocker” berkhasiat menurunkan tekanan / tahanan di uretra prostatika.
b)
Golongan 5
x reduktase “inhibitor” mencegah sintesa dehidra testateron (DHT) yang berperan
dalam proses hiperplasia prostat.
c.
Operatif
1)
Indikasi :
- gejala klinis yang progresif
2)
Terdapat
pernyulitan, terdapat hernia / hemoroid sekunder karena prostatisme
3)
Pernah
retensi urin
4)
“Residual
Urine” lebih dari 1/3 kapasitas buli-buli yang normal.
5)
Cara : -
pembedahan terbuka
6)
Pembedahan
endoskopik : “Trans uretral resection” (TUR)
7)
Cara
derobstruksi yang lain seperti dengan hipertermia dan ablasi dengan laser masih
dalam taraf uji klinis.
B.
KONSEP TEORI ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Data Fokus
1) Data
Subyektif
a)
Klien mengatakan nyeri pada
luka post operasi
b)
Klien mengatakan tidak tahu
tentang diet dan pengobatan setelah operasi
2)
Data Obyektif
a)
Ekspresi tampak menahan nyeri
b)
Ada luka post operasi tertutup balutan
c)
Tampak lemah
d) Terpasang
selang irigasi, kateter, infus
b. Riwayat
kesehatan : riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit keluarga, pengaruh BPH terhadap gaya hidup, apakah masalah urinari
yang dialami pasien.
c. Pengkajian
fisik
1)
Gangguan dalam berkemih seperti
a)
Sering berkemih
b)
Terbangun pada malam hari untuk berkemih
c)
Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak
d) Nyeri
pada saat miksi, pancaran urin melemah
e)
Rasa tidak puas sehabis miksi
f)
Jumlah air kencing menurun dan harus mengedan
saat berkemih
g)
Aliran urin tidak lancar/terputus-putus, urin
terus menetes setelah berkemih.
h)
Nyeri saat berkemih
i)
Ada darah dalam urin
j)
Kandung kemih terasa penuh
k)
Nyeri di pinggang, punggung, rasa tidak
nyaman di perut.
l)
Urin tertahan di kandung kencing, terjadi
distensi kandung kemih
2)
Gejala umum seperti keletihan, tidak nafsu
makan, mual muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik
a)Kaji
status emosi : cemas, takut
b) Kaji
urin : jumlah, warna, kejernihan, bau
c)Kaji
tanda vital
d.
Kaji pemeriksaan diagnostik
1)
Pemeriksaan radiografi
2)
Urinalisa
3)
Lab seperti kimia darah, darah lengkap, urin
e.
Kaji tingkat pemahaman dan pengetahuan klien
dan keluarga tentang keadaan dan proses penyakit, pengobatan dan cara perawatan
di rumah.
2. Diagnosa
Keperawatan
a.
Nyeri akut berhubungan agen injuri
fisik (insisi sekunder pada TURP)
b.
Resiko infeksi berhubungan dengan trauma
jaringan
c.
Kurang pengetahuan tentang penyakit, diit,
dan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif.
d.
Defisit perawatan diri berhubungan dengan
imobilisasi pasca operasi.
3. Rencana Tindakan Keperawatan
No
|
Diagnosa Keperawatan
|
NOC
|
NIC
|
1
|
Nyeri
akut
Definisi : Sensori
dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan yang timbul dari kerusakan
jaringan aktual atau potensial, muncul tiba-tiba atau lambat dengan
intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang bisa diantisipasi atau
diduga dan berlangsung kurang dari 6 bulan.
Batasan
karakteristik :
1.
Laporan secara verbal
atau non verbal adanya nyeri
2.
Fakta dari observasi
3.
Posisi untuk
menghindari nyeri
4.
Gerakan melindungi
5.
Tingkah laku
berhati-hati
6.
Muka topeng
7.
Gangguan tidur (mata
sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai)
8.
Terfokus pada diri
sendiri
9.
Fokus menyempit
(penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi
dengan orang dan lingkungan)
10. Tingkah
laku distraksi, contoh : jalan-jalan, menemui orang lain dan/atau aktivitas,
aktivitas berulang-ulang)
11. Respon
autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi
dan dilatasi pupil)
12. Perubahan
autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku)
13. Tingkah
laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis,
|
Setelah
dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam, klien dapat:
1. Mengontol
nyeri
Definisi : tindakan
seseorang untuk mengontrol nyeri
Indikator:
a.
Mengenal faktor-faktor penyebab
b.
Mengenal onset/waktu kejadian nyeri
c.
tindakan pertolongan non-analgetik
d. Menggunakan
analgetik
e.
melaporkan gejala-gejala
kepada tim kesehatan (dokter, perawat)
f.
nyeri terkontrol
2. Menunjukkan
tingkat nyeri
Definisi : tingkat keparahan dari
nyeri yang dilaporkan atau ditunjukan
Indikator:
a.
Melaporkan nyeri
b.
Frekuensi nyeri
c.
Lamanya episode nyeri
d. Ekspresi
nyeri: wajah
e.
Posisi melindungi tubuh
f.
Kegelisahan
g.
Perubahan Respirasirate
h.
Perubahan Heart Rate
i.
Perubahan tekanan Darah
j.
Perubahan ukuran Pupil
k.
Perspirasi
l.
Kehilangan nafsu makan
|
1. Manajemen
Nyeri
Definisi
: perubahan atau pengurangan nyeri ke tingkat
kenyamanan yang dapat diterima pasien
Intervensi:
1.
Kaji secara menyeluruh
tentang nyeri, meliputi: lokasi, karakteristik,waktu kejadian, lama,
frekuensi, kualitas, intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor pencetus
2.
Observasi isyarat-isyarat
non verbal dari ketidaknyamanan, khususnya dalam ketidakmampuan untuk
komunikasi secara efektif
3.
Berikan analgetik sesuai dengan anjuran
4.
Gunakan komunkasi
terapeutik agar klien dapat mengekspresikan nyeri
5.
Kaji latar belakang budaya klien
6.
Tentukan dampak dari ekspresi nyeri
terhadap kualitas hidup: pola tidur, nafsu makan, aktifitas mood, hubungan,
pekerjaan, tanggungjawab peran
7.
Kaji pengalaman individu
terhadap nyeri, keluarga dengan nyeri kronis
8.
Evaluasi tentang
keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri yang telah digunakan
9.
Berikan dukungan terhadap
klien dan keluarga
10. Berikan
informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa lama terjadi, dan tindakan
pencegahan
11. Kontrol
faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon klien terhadap ketidaknyamanan
(contoh : temperatur ruangan, penyinaran, dll)
12. Anjurkan
klien untuk memonitor sendiri nyeri
13. Ajarkan
penggunaan teknik non-farmakologi
14. (ex:
relaksasi, guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-dingin,
massase)
15. Evaluasi
keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri yang telah digunakan
16. Berikan
dukungan terhadap klien dan keluarga
17. Berikan
informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa lama terjadi, dan tindakan
pencegahan
18. Kontrol
faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon klien terhadap
ketidaknyamanan (contoh : temperatur ruangan, penyinaran, dll)
19. Anjurkan
klien untuk memonitor sendiri nyeri
20. Ajarkan
penggunaan teknik non-farmakologi
21. (ex:
relaksasi, guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-dingin,
massase)
22. Evaluasi
keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
23. Modifikasi
tindakan mengontrol nyeri berdasarkan respon klien
24. Tingkatkan
tidur/istirahat yang cukup
25. Anjurkan
klien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri secara tepat
26. Beritahu
dokter jika tindakan tidak berhasil atau terjadi keluhan
27. Informasikan
kepada tim kesehatan lainnya/anggota keluarga saat tindakan nonfarmakologi
dilakukan, untuk pendekatan preventif
28. Monitor
kenyamanan klien terhadap manajemen nyeri
2.
Pemberian Analgetik
Definisi : penggunaan
agen farmakologi untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri
Intervensi:
1.
Tentukan lokasi nyeri,
karakteristik, kualitas,dan keparahan sebelum pengobatan
2.
Berikan obat dengan prinsip 5 benar
3.
Cek riwayat alergi obat
4.
Libatkan klien dalam
pemilhan analgetik yang akan digunakan
5.
Pilih analgetik secara
tepat /kombinasi lebih dari satu analgetik jika telah diresepkan
6.
Tentukan pilihan
analgetik (narkotik, non narkotik, NSAID) berdasarkan tipe dan keparahan
nyeri
7.
Monitor tanda-tanda vital, sebelum dan
sesudah pemberian analgetik
8.
Monitor reaksi obat dan
efeksamping obat
9.
Dokumentasikan respon
dari analgetik dan efek-efek yang tidak diinginkan
10. Lakukan
tindakan-tindakan untuk menurunkan efek analgetik (konstipasi/iritasi
lambung)
3. Manajemen lingkungan : kenyamanan
Definisi :
memanipulasi lingkungan untuk kepentingan terapeutik
Intervensi :
1.
Pilihlah ruangan dengan
lingkungan yang tepat
2.
Batasi pengunjung
3.
Tentukan hal-hal yang
menyebabkan ketidaknyamanan seperti pakaian lembab
4.
Sediakan tempat tidur
yang nyaman dan bersih
5.
Tentukan temperatur
ruangan yang paling nyaman
6.
Sediakan lingkungan yang
tenang
7.
Perhatikan hygiene pasien
untuk menjaga kenyamanan
8.
Atur posisi pasien yang
membuat nyaman.
|
2
|
Resiko
infeksi
Definisi :
Peningkatan resiko masuknya organisme patogen
Faktor-faktor
resiko :
1.
Prosedur Invasif
2.
Ketidakcukupan
pengetahuan untuk menghindari paparan patogen
3.
Trauma
4.
Kerusakan jaringan
dan peningkatan paparan lingkungan
5.
Ruptur membran amnion
6.
Agen farmasi
(imunosupresan)
7.
Malnutrisi
8.
Peningkatan paparan
lingkungan patogen
9.
Imonusupresi
10. Ketidakadekuatan
imum buatan
11. Tidak
adekuat pertahanan sekunder (penurunan Hb, Leukopenia, penekanan respon
inflamasi)
12. Tidak
adekuat pertahanan tubuh primer (kulit tidak utuh, trauma jaringan, penurunan
kerja silia, cairan tubuh statis, perubahan sekresi pH, perubahan
peristaltik)
13. Penyakit
kronik
|
Setelah
dilakukan asuhan keperawatan selama 3x 24 jam, klien
menunjukan
1. Pengetahuan klien tentang kontrol infeksi meningkat
Definisi : Tindakan untuk
mengurangi ancaman kesehatan secara aktual dan potensial
Indikator:
a.
Menerangkan cara-cara penyebaran
b.
Menerangkan factor-faktor
yang berkontribusi dengan penyebaran
c.
Menjelaskan tanda-tanda dan gejala
d.
Menjelaskan aktivitas
yang dapat meningkatkan resistensi terhadap infeksi
2. Pengetahuan
tentang deteksi resiko meningkat
Definisi : Tindakan untuk
mengidentifikasi ancaman kesehatan
Indikator
:
a.
Mengenali tanda dan gejala yang
mengindikasikan resiko
b.
Mengidentifikasi resiko kesehatan potensial
c.
Mencari pembenaran resiko yang dirasakan
d. Memeriksakan
diri pada interval waktu yang ditentukan
e.
Berpartisipasi dalam screening pada
interval waktu yang ditentukan
f.
Mengetahui keadaan kesehatan keluarga saat
ini
g.
Selalu mengetahui / memonitor keadaan
kesehatan keluarga
h.
Selalu mengetahui / memonitor kesehatan
diri
i.
Menggunakan sumber-sumber informasi
untuk tetap mendapatkan informasi tentang resiko potensial
j.
Menggunakan sarana pelayanan kesehatan
sesuai kebutuhan
3. Status
nutrisi yang baik,
Definisi : Nutrisi cukup untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh
Indikator :
a.
Masukan nutrisi
b.
Masukan makanan dan cairan
c.
Tingkat energi cukup
d.
Berat badan stabil
e.
Nilai laboratorium
4.
Luka sembuh
Indikator:
a.
Kulit utuh
b.
Berkurangnya drainase purulen
c.
Drainase serousa pada luka berkurang
d. Drainase
sanguinis pada luka berkurang
e.
Drainase serosa sangunis pada luka
berkurang
f.
Drainase sangunis pada drain berkurang
g.
Drainase serosasanguinis pada drain
berkurang
h.
Eritema disekitar kulit berkurang
i.
Edema sekitar luka berkurang
j.
Suhu kulit tidak meningkat
k.
Luka tidak berbau
|
1. Kontrol
Infeksi
Definisi
: Meminimalkan mendapatkan infeksi dan
trasmisi agen infeksi
Itervensi
:
1.
Bersikan lingkungan
secara tepat setelah digunakan oleh klien
2.
Ganti peralatan klien
setiap selesai tindakan
3.
Batasi jumlah pengunjung
4.
Ajarkan cuci tangan untuk menjaga kesehatan
individu
5.
Anjurkan klien untuk cuci
tangan dengan tepat
6.
Gunakan sabun antimikrobial untuk cuci
tangan
7.
Anjurkan pengunjung untuk
mencuci tangan sebelum dan setelah meninggalkan ruangan klien
8.
Cuci tangan sebelum dan
sesudah kontak dengan klien
9.
Lakukan universal precautions
10. Gunakan
sarung tangan steril
11. Lakukan
perawatan aseptic pada semua jalur IV
12. Lakukan
teknik perawatan luka yang tepat
13. Tingkatkan
asupan nutrisi
14. Anjurkan
asupan cairan
15. Anjurkan
istirahat
16. Berikan
terapi antibiotik
17. Ajarkan
klien dan keluarga tentang tanda-tanda dan gejala dari infeksi
18. Ajarkan
klien dan anggota keluarga bagaimana mencegah infeksi
2. Proteksi
infeksi
Definisi
: Meminimalkan mendapatkan infeksi dan
trasmisi agen infeksi
Intervensi
:
1.
Bersihkan lingkungan
setelah dipakai pasien lain
2.
Pertahankan teknik
isolasi
3.
Batasi pengunjung bila
perlu
4.
Instruksikan pada
pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung
meninggalkan pasien
5.
Gunakan sabun
antimikrobia untuk cuci tangan
6.
Cuci tangan setiap
sebelum dan sesudah tindakan kperawtan
7.
Gunakan baju, sarung
tangan sebagai alat pelindung
8.
Pertahankan lingkungan
aseptik selama pemasangan alat
9.
Ganti letak IV perifer
dan line central dan dressing sesuai dengan petunjuk umum
10. Gunakan
kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing
11. Tingktkan
intake nutrisi
12. Berikan
terapi antibiotik bila perlu
3. Manajemen
Nutrisi
Definisi :
membantu dengan memberikan diet makanan
dan
cairan yang seimbang.
Tindakan
:
1.
Tanyakan pada klien
tentang alergi terhadap makanan
2.
Tanyakan makanan kesukaan klien
3.
Kolaborasi dengan ahli gizi tentang jumlah
kalori dan nutrisi yang dibutuhkan
4.
Anjurkan masukan kalori
yang tepat yang sesuai dengan gaya hidup
5.
Anjurkan peningkatan
masukan zat besi yang sesuai
6.
Anjurkan peningkatan
masukan protein dan vitamin C
7.
Anjurkan untuk banyak
makan buah dan minum
8.
Pastikan diit tidak menyebabkan
konstipasi
9.
Berikan klien diit tinggi
protein, tinggi kalori
|
3
|
Kurang
pengetahuan tentang : penyakit, diet, pengobatan
Definisi
: tidak
adanya atau kurangnya informasi kognitif sehubungan dengan topik spesifik.
Batasan
karakteristik : memverbalisasikan
adanya masalah, ketidakakuratan mengikuti instruksi, perilaku tidak sesuai.
Faktor
yang berhubungan : keterbatasan
kognitif, interpretasi terhadap informasi yang salah, kurangnya keinginan untuk
mencari informasi, tidak mengetahui sumber-sumber informasi.
|
Setelah
dilakukan asuhan keperawatan selama 1 x 24 jam pengetahuan klien dan keluarga
meningkat tentang:
1.
Proses penyakit
Indikator:
a.
Mengenal nama penyakit
b.
Menjelaskan proses penyakit
c.
Menjelaskan penyebab/fakor yang
berkontribusi
d.
Menjelaskan factor-faktor resiko
e.
Menjelaskan efek dari penyakit
f.
Menjelaskan tanda-tanda dan gejala
g.
Menjelaskan tentang komplikasi dan tanda
gejalanya
h.
Menjelaskan tentang perawatan dirumah
2. Diet, dengan indikator:
a.
Menggambarkan diet yang dianjurkan
b.
Menyebutkan keuntungan dari mengikuti
anjuran diet
c.
Menyebutkan tujuan dari diet yang yang
dianjurkan
d. Menyebutkan
makanan-makanan yang diperbolehkan dalam diet
e.
Menyebutkan makanan-makanan yang dilarang
f.
Memilih makanan-makanan yang dianjurkan
dalam diet
3. Pengobatan,
dengan indikator:
a.
Menggambarkan metode pengobatan yang tepat
b.
Menggambarkan tindakan-tindakan dalam
pengobatan
c.
Menggambarkan efek samping dalam pengobatan
d. Menyebutkan
interakasi obat dengan agen yang lainnya
e.
Menyebutkan rute pemberian obat yang tepat
|
a.
Pendidikan kesehatan:
Proses penyakit
1.
Gali pengetahuan tentang proses penyakit
2.
Jelaskan patofisiologi penyakit
3.
Jelaskan tanda dan gejala penyakit
4.
Terangkan proses penyakit
5.
Identifikasi proses kemungkinan penyebab
6.
Berikan informasi tentang kondisi pasien
7.
Hindari memberi harapan palsu
8.
Berikan informasi kondisi pasien pada
keluarga
9.
Diskusikan perubahan gaya hidup untuk
mencegah komplikasi di masa depan
10. Diskusikan
pilihan terapi
11. Terangkan
rasional tindakan
12. Terangkan
komplikasi kronik
13. Terangkan
tanda dan gejala yang harus dilaporkan
14. Jelaskan
cara mencegah atau meminimalkan efek samping penyakit.
b. Ajarkan
: Diet
1.
Kaji pengetahuan klien tentang diet yang
dianjurkan
2.
Tentukan sikap keluarga klien terhadap diet
3.
Jelaskan tujuan diet
4.
Informasikan berapa lama diet harus diikuti
5.
Anjarkan klien tentang makanan yang boleh
dan tidak boleh dimakan
6.
Bantu klien untuk mencatat makanan kesukaan
dalam diet yang dianjurkan
7.
Observasi pilihan makanan klien sesuai
dengan diet yang dianjurkan
8.
Anjurkan membuat rencana makan
9.
Dorong untuk mengikuti informasi yang
diberikan oleh tenaga kesehatan lain
10. Konsul
ahli gizi
11. Libatkan
keluarga
c.Ajarkan
: pengobatan
1.
Jelaskan klien utk mengenal karakteristik
obat
2.
Informasikan nama generik dan nama dagang
3.
Jelaskan tujuan dan kerja obat
4.
Jelaskan dosis, rute dan durasi obat
5.
Evaluasi kemampuan klien menggunakan obat
6.
Ajarkan klien untuk melakukan prosedur
sebelum minum obat
7.
Informasikan apa yang dilakukan jika dosis
obat hilang
8.
Informasikan akibat tidak minum obat
9.
Informasikan efek samping obat
10.
Jelaskan tanda dan gejala over dosis obat
11.
Jelaskan cara menyimpan obat
12.
Jelaskan interaksi obat
13.
Jelaskan cara mencegah atau mengurangi efek
samping obat
14.
Berikan informasi tertulis tentang aksi,
tujuan, efek samping obat, dll
|
4
|
Defisit Perawatan
Diri
(kurang
perawatan diri : mandi, berpakaian, makan, dan toileting)
Definisi
:
Gangguan
kemampuan untuk melakukan ADL pada diri
Batasan
karakteristik : ketidakmampuan untuk mandi,
ketidakmampuan untuk berpakaian, ketidakmampuan untuk makan, ketidakmampuan
untuk toileting
Faktor
yang berhubungan : kelemahan,
kerusakan kognitif atau perceptual, kerusakan neuromuskular/ otot-otot saraf.
|
Setelah
dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam, klien mampu
melakukan perawatan diri: Activities of Daily Living (ADL), dengan
indikator:
a.
makan
b.
berpakaian
c.
toileting
d.
mandi
e.
berhias
f.
hygiene
g.
oral hygiene
h.
ambulasi: berjalan
i.
ambulasi: wheelchair
j.
transfer performance
|
1.Bantu
dalam perawatan diri (mandi, berpakaian, berhias, makan, toileting)
Definisi :
membantu pasien untuk memenuhi ADL
Intervensi :
1.
Monitor kemempuan klien untuk perawatan
diri yang mandiri.
2.
Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat
bantu untuk kebersihan diri, berpakaian, berhias, toileting dan makan.
3.
Sediakan bantuan sampai klien mampu secara
utuh untuk melakukan self-care.
4.
Dorong klien untuk melakukan aktivitas
sehari-hari yang normal sesuai kemampuan yang dimiliki.
5.
Dorong untuk melakukan secara mandiri, tapi
beri bantuan ketika klien tidak mampu melakukannya.
6.
Ajarkan klien/ keluarga untuk mendorong
kemandirian, untuk memberikan bantuan hanya jika pasien tidak mampu untuk
melakukannya.
7.
Berikan aktivitas rutin sehari- hari sesuai
kemampuan.
8.
Pertimbangkan usia klien jika mendorong
pelaksanaan aktivitas sehari-hari.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar