Cari Blog Ini

Senin, 20 Agustus 2018

ASUHAN KEPERAWATAN BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG
Kelenjar prostat merupakan bagian organ tubuh yang ada pada sistem reproduksi pria. Fungsi utama kelenjar prostat adalah untuk memproduksi semen (air mani) yang berisi nutrisi sekaligus alat transpor bagi sperma keluar dari tubuh. Terdapat tiga masalah medis yang biasa terjadi pada prostat yaitu pembesaran prostat, peradangan pada kelenjar prostat (prostatitis), dan kanker prostat (Furqan, 2013).
Pembesaran kelenjar prostat sering juga disebut BPH (Benign Prostatic Hyperplasia /tumor prostat jinak) adalah pertumbuhan berlebihan dari sel-sel prostat yang tidak ganas. BPH merupakan suatu pembesaran prostat yang disebabkan bertambahnya struktur kelenjar dan jaringan ikat. Pembesaran prostat secara normal terjadi pada semua pria dewasa disebabkan oleh hormon. Hal ini sangat umum terjadi pada pria, dan hampir setengah dari semua pria dewasa, terutama di atas 50 tahun menimbulkan gejala (Purnomo, 2012).
Menurut beberapa referensi, sekitar 90 persen laki-laki yang berusia 40 tahun ke atas mengalami gangguan berupa pembesaran kelenjar prostat. Pembesaran prostat berbeda dengan kanker prostat. Pembesaran prostat mungkin tidak menimbulkan gejala, tetapi jika tumor ini terus berkembang, pada akhirnya akan mendesak uretra yang mengakibatkan rasa tidak nyaman pada penderita. Pembesaran prostat dapat menyebabkan gangguan saat kencing. Jika tidak diobati, maka akan menghambat aliran urin dari kandung kemih dan pada akhirnya menimbulkan masalah pada kandung kemih, saluran urin dan ginjal. BPH adalah tumor jinak pada pria yang paling sering ditemukan (Arisandi, 2012).
Pembesaran prostat terjadi karena ketidakseimbangan hormonal pada usia lewat dewasa. Sebanyak 70% pria berusia 70 menderita keluhan prostat. Pertambahan usia dan penurunan fungsi penguraian bisa menyebabkan peningkatan hormon tersebut, sehingga ukuran kelenjar prostat akan terus bertambah. Angka kejadian (prevalensi) kasus pembesaran prostat jinak (benign prostatic hyperplasia/BPH) di Indonesia sekitar 20% terjadi pada pria berusia 41-50 tahun. Prevalensi itu meningkat hingga 50% pada pria 51-60 tahun dan bertambah lagi hingga 90% pada pria di atas 80 tahun (Furqan, 2013).
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau dalam bahasa umumnya dinyatakan sebagai pembesaran prostat jinak (PPJ), merupakan suatu penyakit yang biasa terjadi. Di dunia, diperkirakan jumlah penderita BPH sebesar 30 juta, jumlah ini hanya pada kaum pria karena wanita tidak mempunyai kalenjar prostat (emedicine, 2015).
Di Amerika Serikat, terdapat lebih dari setengah (50%) pada laki laki usia 60-70 th mengalami gejala BPH dan antara usia 70-90 th sebanyak 90% mengalami gejala gejala BPH (Suharyanto & Abdul, 2011)
Jika dilihat secara epidemiologinya, di dunia, menurut usia, maka dapat di lihat kadar insidensi BPH, pada usia 40-an, kemungkinan seseorang menderita penyakit ini sebesar 40%, dan seiring meningkatnya usia, dalam rentang usia 60-70 tahun, persentasenya meningkat menjadi 50% dan diatas 70 tahun, persen untuk mendapatkannya bisa sehingga 90%. Akan tetapi, jika di lihat secara histology penyakit BPH, secara umum sejumlah 20% pria pada usia 40-an, dan meningkat pada pria berusia 60-an, dan 90% pada usia 70 (A.K. Abbas, 2015).
Di Indonesia, BPH menjadi urutan kedua setelah penyakit batu saluran kemih, dan secara umumn, diperkirakan hampir 50% pria Indonesia yang berusia di atas 50 tahun ditemukan menderita BPH ini. Oleh karena itu, jika dilihat, dari 200 juta lebih rakyat indonesia, maka dapat diperkirakan 100 juta adalah pria, dan yang berusia 60 tahun dan ke atas adalah kira-kira sejumlah 5 juta, maka dapat dinyatakan kira-kira 2,5 juta pria Indonesia menderita penyakit (Purnomo, 2011).
Jumlah penderita BPH secara pasti belum bisa dinyatakan tetapi secara prevalensi di RS, contohnya di RS Cipto Mangunkusumo ditemukan 423 kasus BPH yang dirawat selama tiga tahun (1994-1997) dan di RS Sumber Waras sebanyak 617 kasus dalam periode yang sama (Arisandi, 2011).
Selain itu Kanker prostat, juga merupakan salah satu penyakit prostat yang sering dtemukan dan lebih ganas dibanding BPH yang hanya melibatkan pembesaran jinak prostat. Kenyataan ini adalah berdasarkan prevalensi terjadinya kanker prostat di dunia secara umum dan Indonesia khususnya. Secara umum, di dunia, pada 2003, terdapat kurang lebih 220.900 kasus baru ditemukan, dimana sejumlah 29.000 kasus diantaranya berada di tahap membunuh (A.K. Abbas, 2015) . Seperti BPH, kanker prostat juga menyerang pria berusia lebih dari 50. Secara khususnya di Indonesia, menurut (WHO,2011), untuk tahun 2008, insidensi terjadinya kanker prostat adalah sebesar 12 orang setiap 100,000 orang, dan menduduki peringkat keempat setelah kanker saluran napas atas, saluran pencernaan dan hati. Dari data dan alasan diatas, maka penulis tertarik untuk mengambil kasus “Asuhan Keperawatan Medikal Bedah pada Tn. K. dengan Post Op. Open Prostatectomy H0 at Causa Benigna Prostat Hyperplasia di Bangsal Melati RSUD Panembahan Senopati, Bantul.”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis mengambil rumusan masalah “Bagaimana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah pada Tn. K. dengan Post Op. Open Prostatectomy H0 at Causa Benigna Prostat Hyperplasia di Bangsal Melati  RSUD Panembahan Senopati, Bantul.

1.3  Tujuan
1.      Tujuan Umum
Mendapat gambaran secara nyata dalam memberikan asuhan keperawatan medikal bedah  pada kasus Post Op. Open Prostatectomy H0 at Causa Benigna Prostat Hyperplasia sesuai dengan standar keperawatan melalui pendekatan proses keperawatan.
2.      Tujuan Khusus
a.       Mampu memberikan asuhan keperawatan medikal bedah pada pada Tn. K. dengan Post Op. Open Prostatectomy H0 at Causa Benigna Prostat Hyperplasia di Bangsal Melati RSUD Panembahan Senopati, Bantul meliputi : pengkajian, data fokus, analisa data, perioritas diagnosa, intervensi/perencanaan keperawatan, implementasi/pelaksanaan, dan evaluasi keperawatan.
b.      Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan medikal bedah pada Tn. K. dengan Post Op. Open Prostatectomy H0 at Causa Benigna Prostat Hyperplasia di Bangsal Melati RSUD Panembahan Senopati, Bantul.



1.4  Ruang lingkup
Adapun ruang lingkup studi kasus ini, meliputi :
1.      Lingkup Mata Ajar
Lingkup kasus yang diambil penulis dalam laporan ini membahas asuhan keperawatan medikal bedah pada Tn. K. dengan Post Op. Open Prostatectomy H0 at Causa Benigna Prostat Hyperplasia di Bangsal Melati RSUD Panembahan Senopati, Bantul sejalan dengan teori keperawatan medikal bedah.
2.      Lingkup Waktu
Asuhan keperawatan dilaksanakan 3x24 jam pada tanggal 7-10 maret  2016.
3.      Lingkup Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan ini dilakukan dengan proses keperawatan yang meliputi pengkajian, data fokus, analisa data, perioritas diagnosa, intervensi/perencanaan keperawatan, implementasi/pelaksanaan, evaluasi, dan dokumentasi keperawatan.

1.5  Metode
1.      Metode Penulisan
Dalam penulisan, metode yang dipakai adalah metode diskriptif yaitu suatu metode yang dilakukan dengan tujuan utama untuk gambarkan atas diskriptif tentang suatu keadaan secara subjektif (Notoatmodjo, 2012).
2.      Tehnik Pengumpulan Data
a.       Observasi
b.      Wawancara
c.       Pemeriksaan fisik
d.      Studi kasus
e.       Studi dokumentasi





1.6  Manfaat
1.      Bagi Penulis
Laporan ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman belajar nyata dalam memberikan asuhan keperawatan medikal bedah kepada klien.
2.      Bagi Profesi Keperawatan
Sebagai sarana atau bahan pertimbangan asuhan keperawatan secara professional, khususnya asuhan keperawatan pada klien dengan Post Op. Open Prostatectomy H0 at Causa Benigna Prostat Hyperplasia.
3.      Bagi Rumah Sakit atau Tempat Praktek
Sebagai bahan pertimbangan bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan medikal bedah pada klien dengan Post Op. Open Prostatectomy H0 at Causa Benigna Prostat Hyperplasia
4.      Bagi Instansi Pendidikan
Sebagai bahan referensi dan dapat menambah wawasan dalam memberikan asuhan keperawatan medikal bedah pada klien dengan Post Op. Open Prostatectomy H0 at Causa Benigna Prostat Hyperplasia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.     KONSEP TEORI
1.      Pengertian
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker, (Corwin, 2000). Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan. Price&Wilson (2005).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesanan prostat yang jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atauhiperplasia fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secarahistologi yang dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David C,2004)
Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193).
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000 : 671).
BPH (Hiperplasia prostat benigna) adalah suatu keadaan di mana kelenjar prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutup orifisium uretra. BPH merupakan kondisi patologis yang paling umum pada pria. (Smeltzer dan Bare, 2002)
2.    Etiologi
Etiologi BPH belum jelas namun terdapat faktor resiko umur dan hormon androgen. Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang akan terjadi perubahan katologik anatomi yang pada pria usia 50 tahun angka kejadian sekitar 50%, usia 80 tahun sekitar 80% dan usia 90 tahun 100%.
Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :
a.       Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
b.      Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
c.       Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan transforming gro            =q2334erdfc wth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
d.      Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
e.       Teori sel stem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit (Roger Kirby, 1994 : 38).
3.      Gejala Benigne Prostat Hyperplasia
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
a.       Gejala Obstruktif yaitu :
1)      Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
2)      Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.
3)      Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
4)      Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
5)      Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
b.       Gejala Iritasi yaitu :
1)      Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
2)      Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
3)       Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
4.      Patofisiologi
Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia  30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologi anatomi yang ada pada pria usia 50 tahunan. Perubahan hormonal menyebabkan hiperplasia jaringan penyangga stromal dan elemen glandular  pada prostat.
Teori-teori tentang terjadinya BPH :
a.       Teori Dehidrosteron (DHT)
Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi dehidrosteron (DHT) dalam sel prostat menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT ke dalam inti sel yang menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga menyebabkan terjadinya sintesa protein.
b.      Teori hormon
Pada orang tua bagian tengah kelenjar prostat mengalami hiperplasia yamg disebabkan oleh sekresi androgen yang berkurang, estrogen bertambah relatif atau aabsolut. Estrogen berperan pada kemunculan dan perkembangan  hiperplasi prostat.
c.       Faktor interaksi stroma dan epitel
Hal ini banyak dipengaruhi oleh Growth factor. Basic fibroblast growth factor (b-FGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostat jinak. Proses reduksi ini difasilitasi oleh enzim 5-a-reduktase. b-FGF dapat dicetuskan oleh mikrotrauma karena miksi, ejakulasi dan infeksi.
d.      Teori kebangkitan kembali (reawakening) atau reinduksi dari kemampuan mesenkim sinus urogenital untuk berploriferasi dan membentuk jaringan prostat.
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi urin pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.
Adapun patofisiologi dari masing-masing gejala yaitu :
1)      Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah gambaran awal dan menetap dari BPH. Retensi akut disebabkan oleh edema yang terjadi pada prostat yang membesar.
2)      Hesitancy (kalau mau miksi harus menunggu lama), terjadi karena detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra.
3)      Intermittency (kencing terputus-putus), terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urin yang banyak dalam buli-buli.
4)      Nocturia miksi pada malam hari) dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek.
5)      Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan normal dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama tidur.
6)      Urgensi (perasaan ingin miksi sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi) jarang terjadi. Jika ada disebabkan oleh ketidak stabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter,
7)      Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya penyakit urin keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli mencapai complience maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan spingter.
8)      Hematuri biasanya disebabkan oleh oleh pecahnya pembuluh darah submukosa pada prostat yang membesar.
9)      Lobus yang mengalami hipertropi dapat menyumbat kolum vesikal atau uretra prostatik, sehingga menyebabkan pengosongan urin inkomplit atau retensi urin. Akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap, serta gagal ginjal.
10)  Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat stasis urin, di mana sebagian urin tetap berada dalam saluran kemih dan berfungsi sebagai media untuk organisme infektif.
11)  Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli, Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri. Batu tersebut dapat pula menimbulkan sistiitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.
12)  Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan hernia dan hemoroid.
5.      Pathways

6.      Pemeriksaan dan Diagnosa
a.       Pemeriksaan buli-buli
1)      Inspeksi buli-buli : Ada / tidaknya penonjolan perut di daerah supra pubik (buli-buli penuh / kosong).
2)      Palpasi buli-buli : Tekanan di daerah suprapublik menimbulkan rangsangan ingin kencing bila buli-buli bersih / penuh. Teraba massa yang kontraktil dan “ballotlement
3)      Perkusi : Buli-buli yang penuh berisi urin memberi suara merdu. 
b.      Colok dubur.
c.       Laboratorium : Dl, Ul, kultur urin, kreatinin serum, B, U, N
d.      Flowmetri :
Flowmeter adalah alat khusus untuk mengukur pancaran urin dengan satuan ml / detik. Penderita dengan sindroma prostatisme perlu diperiksa dengan flowmetri sebelum dan sesudah terapi.
Penilaian : • F maks < 10 ml / dt obstruktif • F maks 10-15 ml / dt bordeline • F maks >15 ml / dt non obstruktif
e.       Radiologis : I.V. P dengan foto buli-buli pre dan post muksi posisi obligue ini dikerjakan bila prextatisme masih mungkin disebabkan oleh hal lain. Bila diagnosa klinis sudah jelas BpH, hanya dikerjakan foto polos abdomen.
f.       Kateterisasi : mengukur “rest urine”.
g.      Ultrasonografi
h.      Uretra-sistoskopi

7.      Diagnosa Banding
a.       Prostatotis.
1)      Keluhan : disuria, urgensiPemeriksaan fisisk : - colok dubur prostat tidak membesar, lunak, nyeri tekan.
2)      Setelah kencing “rest urine”
b.      Keganasan prostat
1)      Keluhan : disuria, urgensi, hematuria, retensi urine
2)      Pemeriksaan fisik : - colok dubur : prostat membesar, terdapat nodul yang soliter ataupun difus dan lebih besar.
c.       Striktur uretra
d.      Batu uretra posterior

8.   Komplikasi
a.       Infeksi saluran kemih (ISK)
b.      Obstruksi intravertikal : - Pada buli-buli Trabekulasi, divertikuli, terbentuk batu buli-buli pada ginjal Hindronetrosi

9.   Penatalaksanaan
a.       Konservativ : bila gejala klinis hanya ringan dan tidak pragresif
b.      Medika mentosa
1)      Indikasi :
BPH dengan gejala prostatisme ringan dan belum memenuhi indikasi operatif
2)      Macam obat :
a)      Golongan x 1 adrenergik “ blocker” berkhasiat menurunkan tekanan / tahanan di uretra prostatika.
b)      Golongan 5 x reduktase “inhibitor” mencegah sintesa dehidra testateron (DHT) yang berperan dalam proses hiperplasia prostat.
c.       Operatif
1)      Indikasi : - gejala klinis yang progresif
2)      Terdapat pernyulitan, terdapat hernia / hemoroid sekunder karena prostatisme
3)      Pernah retensi urin
4)      “Residual Urine” lebih dari 1/3 kapasitas buli-buli yang normal.
5)      Cara : - pembedahan terbuka
6)      Pembedahan endoskopik : “Trans uretral resection” (TUR)
7)      Cara derobstruksi yang lain seperti dengan hipertermia dan ablasi dengan laser masih dalam taraf uji klinis.


B.     KONSEP TEORI ASUHAN KEPERAWATAN
1.   Pengkajian
a.    Data Fokus
1)    Data Subyektif
a)      Klien mengatakan nyeri pada luka post operasi
b)      Klien mengatakan tidak tahu tentang diet dan pengobatan setelah operasi
2)      Data Obyektif
a)      Ekspresi tampak menahan nyeri
b)      Ada luka post operasi tertutup balutan
c)      Tampak lemah
d)     Terpasang selang irigasi, kateter, infus
b.  Riwayat kesehatan : riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit keluarga, pengaruh BPH terhadap gaya hidup, apakah masalah urinari yang dialami pasien.
c.  Pengkajian fisik
1)      Gangguan dalam berkemih seperti
a)      Sering berkemih
b)      Terbangun pada malam hari untuk berkemih
c)      Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak
d)     Nyeri pada saat miksipancaran urin melemah
e)      Rasa tidak puas sehabis miksi
f)       Jumlah air kencing menurun dan harus mengedan saat berkemih
g)      Aliran urin tidak lancar/terputus-putusurin terus menetes setelah berkemih.
h)      Nyeri saat berkemih
i)        Ada darah dalam urin
j)        Kandung kemih terasa penuh
k)      Nyeri di pinggang, punggung, rasa tidak nyaman di perut.
l)        Urin tertahan di kandung kencing, terjadi distensi kandung kemih
2)      Gejala umum seperti keletihan, tidak nafsu makan, mual muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik
a)Kaji status emosi : cemas, takut
b)      Kaji urin : jumlah, warna, kejernihan, bau
c)Kaji tanda vital

d.      Kaji pemeriksaan diagnostik
1)      Pemeriksaan radiografi
2)      Urinalisa
3)      Lab seperti kimia darah, darah lengkap, urin
e.       Kaji tingkat pemahaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang keadaan dan proses penyakit, pengobatan dan cara perawatan di rumah.

2.      Diagnosa Keperawatan
a.       Nyeri akut berhubungan agen injuri fisik (insisi sekunder pada TURP)
b.      Resiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan
c.       Kurang pengetahuan tentang penyakit, diit, dan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif.
d.      Defisit perawatan diri berhubungan dengan imobilisasi pasca operasi.
3.      Rencana Tindakan Keperawatan
No
Diagnosa Keperawatan
NOC
NIC
1
Nyeri akut
Definisi : Sensori dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan yang timbul dari kerusakan jaringan aktual atau potensial, muncul tiba-tiba atau lambat dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang bisa diantisipasi atau diduga dan berlangsung kurang dari 6 bulan.

Batasan karakteristik :
1.      Laporan secara verbal atau non verbal adanya nyeri
2.      Fakta dari observasi
3.      Posisi untuk menghindari nyeri
4.      Gerakan melindungi
5.      Tingkah laku berhati-hati
6.      Muka topeng
7.      Gangguan tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai)
8.      Terfokus pada diri sendiri
9.      Fokus menyempit (penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan)
10.  Tingkah laku distraksi, contoh : jalan-jalan, menemui orang lain dan/atau aktivitas, aktivitas berulang-ulang)
11.  Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi pupil)
12.  Perubahan autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku)
13.  Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis,
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam, klien dapat:

1.    Mengontol nyeri
       Definisi : tindakan seseorang untuk mengontrol nyeri
Indikator:
a.   Mengenal faktor-faktor penyebab
b.   Mengenal onset/waktu kejadian nyeri
c.   tindakan pertolongan non-analgetik
d.  Menggunakan analgetik
e.   melaporkan gejala-gejala kepada tim kesehatan (dokter, perawat)
f.    nyeri terkontrol

2. Menunjukkan tingkat nyeri
Definisi : tingkat keparahan dari nyeri yang dilaporkan atau ditunjukan
Indikator:
a.   Melaporkan nyeri
b.   Frekuensi nyeri
c.   Lamanya episode nyeri
d.  Ekspresi nyeri: wajah
e.   Posisi melindungi tubuh
f.    Kegelisahan
g.   Perubahan Respirasirate
h.   Perubahan Heart Rate
i.     Perubahan tekanan Darah
j.     Perubahan ukuran Pupil
k.   Perspirasi
l.     Kehilangan nafsu makan

1.    Manajemen Nyeri
Definisi : perubahan atau pengurangan nyeri ke tingkat kenyamanan yang dapat diterima pasien
Intervensi:
1.      Kaji secara menyeluruh tentang nyeri, meliputi: lokasi, karakteristik,waktu kejadian, lama, frekuensi, kualitas, intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor pencetus
2.      Observasi isyarat-isyarat non verbal dari ketidaknyamanan, khususnya dalam ketidakmampuan untuk komunikasi secara efektif
3.      Berikan analgetik sesuai dengan anjuran
4.      Gunakan komunkasi terapeutik agar klien dapat mengekspresikan nyeri
5.      Kaji latar belakang budaya klien
6.      Tentukan dampak dari ekspresi nyeri terhadap kualitas hidup: pola tidur, nafsu makan, aktifitas mood, hubungan, pekerjaan, tanggungjawab peran
7.      Kaji pengalaman individu terhadap nyeri,  keluarga dengan nyeri kronis
8.      Evaluasi  tentang keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri yang telah digunakan
9.      Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga
10.  Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa lama terjadi, dan tindakan pencegahan
11.  Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon klien terhadap ketidaknyamanan  (contoh : temperatur ruangan, penyinaran, dll)
12.  Anjurkan klien untuk memonitor sendiri nyeri
13.  Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi
14.  (ex: relaksasi, guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-dingin, massase)
15.  Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol  nyeri yang telah digunakan
16.  Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga
17.  Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa lama terjadi, dan tindakan pencegahan
18.  Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon klien terhadap ketidaknyamanan  (contoh : temperatur ruangan, penyinaran, dll)
19.  Anjurkan klien untuk memonitor sendiri nyeri
20.  Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi
21.  (ex: relaksasi, guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-dingin, massase)
22.  Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
23.  Modifikasi tindakan mengontrol nyeri berdasarkan respon klien
24.  Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup
25.  Anjurkan klien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri secara tepat
26.  Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau terjadi keluhan
27.  Informasikan kepada tim kesehatan lainnya/anggota keluarga saat tindakan nonfarmakologi dilakukan, untuk pendekatan preventif
28.  Monitor kenyamanan klien terhadap manajemen nyeri

2. Pemberian Analgetik
Definisi : penggunaan agen farmakologi  untuk   mengurangi atau menghilangkan nyeri
Intervensi:
1.      Tentukan lokasi nyeri, karakteristik, kualitas,dan keparahan sebelum pengobatan
2.      Berikan obat dengan prinsip 5 benar
3.      Cek riwayat alergi obat
4.      Libatkan klien dalam pemilhan analgetik yang akan digunakan
5.      Pilih analgetik secara tepat /kombinasi lebih dari satu analgetik jika telah diresepkan
6.      Tentukan pilihan analgetik (narkotik, non narkotik, NSAID) berdasarkan tipe dan keparahan nyeri
7.      Monitor tanda-tanda vital, sebelum dan sesudah pemberian analgetik
8.      Monitor reaksi obat dan efeksamping obat
9.      Dokumentasikan respon dari analgetik dan efek-efek yang tidak diinginkan
10.  Lakukan tindakan-tindakan untuk menurunkan efek analgetik (konstipasi/iritasi lambung)

3. Manajemen lingkungan : kenyamanan
Definisi : memanipulasi lingkungan untuk kepentingan terapeutik
Intervensi :
1.      Pilihlah ruangan dengan lingkungan yang tepat
2.      Batasi pengunjung
3.      Tentukan hal-hal yang menyebabkan ketidaknyamanan seperti pakaian lembab
4.      Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
5.      Tentukan temperatur ruangan yang paling nyaman
6.      Sediakan lingkungan yang tenang
7.      Perhatikan hygiene pasien untuk menjaga kenyamanan
8.      Atur posisi pasien yang membuat nyaman.
2
Resiko infeksi
Definisi : Peningkatan resiko masuknya organisme patogen

Faktor-faktor resiko :
1.      Prosedur Invasif
2.      Ketidakcukupan pengetahuan untuk menghindari paparan patogen
3.      Trauma
4.      Kerusakan jaringan dan peningkatan paparan lingkungan
5.      Ruptur membran amnion
6.      Agen farmasi (imunosupresan)
7.      Malnutrisi
8.      Peningkatan paparan lingkungan patogen
9.      Imonusupresi
10.  Ketidakadekuatan imum buatan
11.  Tidak adekuat pertahanan sekunder (penurunan Hb, Leukopenia, penekanan respon inflamasi)
12.  Tidak adekuat pertahanan tubuh primer (kulit tidak utuh, trauma jaringan, penurunan kerja silia, cairan tubuh statis, perubahan sekresi pH, perubahan peristaltik)
13.  Penyakit kronik
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x 24 jam, klien menunjukan

1.  Pengetahuan klien tentang kontrol infeksi meningkat
Definisi : Tindakan untuk mengurangi ancaman kesehatan secara aktual dan potensial
Indikator:
a.       Menerangkan cara-cara penyebaran
b.      Menerangkan factor-faktor yang berkontribusi dengan penyebaran
c.       Menjelaskan tanda-tanda dan gejala
d.      Menjelaskan aktivitas yang dapat meningkatkan resistensi terhadap infeksi

2.   Pengetahuan tentang deteksi resiko meningkat
Definisi : Tindakan untuk mengidentifikasi ancaman kesehatan
Indikator :
a.   Mengenali tanda dan gejala yang mengindikasikan resiko
b.   Mengidentifikasi resiko kesehatan potensial
c.   Mencari pembenaran resiko yang dirasakan
d.  Memeriksakan diri pada interval waktu yang ditentukan
e.   Berpartisipasi dalam screening pada interval waktu yang ditentukan
f.    Mengetahui keadaan kesehatan keluarga saat ini
g.   Selalu mengetahui / memonitor keadaan kesehatan keluarga
h.   Selalu mengetahui / memonitor kesehatan diri
i.     Menggunakan sumber-sumber informasi untuk  tetap mendapatkan informasi tentang resiko potensial
j.     Menggunakan sarana pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan

3.  Status nutrisi yang  baik,
Definisi : Nutrisi cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh
Indikator :
a.       Masukan nutrisi
b.      Masukan makanan dan cairan
c.       Tingkat energi cukup
d.      Berat badan stabil
e.       Nilai laboratorium

4.   Luka sembuh
 Indikator:
a.   Kulit utuh
b.   Berkurangnya drainase purulen
c.   Drainase serousa pada luka berkurang
d.  Drainase sanguinis pada luka berkurang
e.   Drainase serosa sangunis pada luka berkurang
f.    Drainase sangunis pada drain berkurang
g.   Drainase serosasanguinis pada drain berkurang
h.   Eritema disekitar kulit berkurang
i.     Edema sekitar luka berkurang
j.     Suhu kulit tidak meningkat
k.   Luka tidak berbau
1.    Kontrol Infeksi
Definisi : Meminimalkan mendapatkan infeksi dan trasmisi agen infeksi
Itervensi :
1.      Bersikan lingkungan secara tepat setelah digunakan oleh klien
2.      Ganti peralatan klien setiap selesai tindakan
3.      Batasi jumlah pengunjung
4.      Ajarkan cuci tangan untuk menjaga kesehatan individu
5.      Anjurkan klien untuk cuci tangan dengan tepat
6.      Gunakan sabun antimikrobial untuk cuci tangan
7.      Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan sebelum dan setelah meninggalkan ruangan klien
8.      Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien
9.      Lakukan universal precautions
10.  Gunakan sarung tangan steril
11.  Lakukan perawatan aseptic pada semua jalur IV
12.  Lakukan teknik perawatan luka yang tepat
13.  Tingkatkan asupan nutrisi
14.  Anjurkan asupan cairan
15.  Anjurkan istirahat
16.  Berikan terapi antibiotik
17.  Ajarkan klien dan keluarga tentang tanda-tanda dan gejala dari infeksi
18.  Ajarkan klien dan anggota keluarga bagaimana mencegah infeksi

2.    Proteksi infeksi
Definisi : Meminimalkan mendapatkan infeksi dan trasmisi agen infeksi
Intervensi :
1.      Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
2.      Pertahankan teknik isolasi
3.      Batasi pengunjung bila perlu
4.      Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien
5.      Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
6.      Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan kperawtan
7.      Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
8.      Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
9.      Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan petunjuk umum
10.  Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing
11.  Tingktkan intake nutrisi
12.  Berikan terapi antibiotik bila perlu
3.   Manajemen Nutrisi
Definisi : membantu dengan memberikan diet makanan
dan cairan yang seimbang.
Tindakan :
1.      Tanyakan pada klien tentang alergi terhadap makanan
2.      Tanyakan makanan kesukaan klien
3.      Kolaborasi dengan ahli gizi tentang jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan
4.      Anjurkan masukan kalori yang tepat yang sesuai dengan gaya hidup
5.      Anjurkan peningkatan masukan zat besi yang sesuai
6.      Anjurkan peningkatan masukan protein dan vitamin C
7.      Anjurkan untuk banyak makan buah dan minum
8.      Pastikan diit  tidak menyebabkan konstipasi
9.      Berikan klien diit tinggi protein, tinggi kalori
3
Kurang pengetahuan tentang : penyakit, diet, pengobatan 
Definisi : tidak adanya atau kurangnya informasi kognitif sehubungan dengan topik spesifik.

Batasan karakteristik : memverbalisasikan adanya masalah, ketidakakuratan mengikuti instruksi, perilaku tidak sesuai.

Faktor yang berhubungan : keterbatasan kognitif, interpretasi terhadap informasi yang salah, kurangnya keinginan untuk mencari informasi, tidak mengetahui sumber-sumber informasi.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1 x 24 jam pengetahuan klien dan keluarga meningkat tentang:
1. Proses penyakit
Indikator:
a.    Mengenal  nama penyakit
b.   Menjelaskan proses penyakit
c.    Menjelaskan penyebab/fakor yang berkontribusi
d.   Menjelaskan factor-faktor resiko
e.    Menjelaskan efek dari penyakit
f.    Menjelaskan tanda-tanda dan gejala
g.   Menjelaskan tentang komplikasi dan tanda gejalanya
h.   Menjelaskan tentang perawatan dirumah

2. Diet, dengan indikator:
a.   Menggambarkan diet yang dianjurkan
b.   Menyebutkan  keuntungan dari mengikuti anjuran diet
c.   Menyebutkan tujuan dari diet yang yang dianjurkan
d.  Menyebutkan makanan-makanan yang diperbolehkan dalam diet
e.   Menyebutkan makanan-makanan yang dilarang
f.    Memilih makanan-makanan yang dianjurkan dalam diet

3.  Pengobatan, dengan indikator:
a.   Menggambarkan metode pengobatan yang tepat
b.   Menggambarkan tindakan-tindakan dalam pengobatan
c.   Menggambarkan efek samping dalam pengobatan
d.  Menyebutkan interakasi obat dengan agen yang lainnya
e.   Menyebutkan rute pemberian obat yang tepat



a.      Pendidikan kesehatan: Proses penyakit
1.      Gali pengetahuan tentang proses penyakit
2.      Jelaskan patofisiologi penyakit
3.      Jelaskan tanda dan gejala penyakit
4.      Terangkan proses penyakit
5.      Identifikasi proses kemungkinan penyebab
6.      Berikan informasi tentang kondisi pasien
7.      Hindari memberi harapan palsu
8.      Berikan informasi kondisi pasien pada keluarga
9.      Diskusikan perubahan gaya hidup untuk mencegah komplikasi di masa depan
10.  Diskusikan pilihan terapi
11.  Terangkan rasional tindakan
12.  Terangkan komplikasi kronik
13.  Terangkan tanda dan gejala yang harus dilaporkan
14.  Jelaskan cara mencegah atau meminimalkan efek samping penyakit.

b. Ajarkan : Diet
1.      Kaji pengetahuan klien tentang diet yang dianjurkan
2.      Tentukan sikap keluarga klien terhadap diet
3.      Jelaskan tujuan diet
4.      Informasikan berapa lama diet harus diikuti
5.      Anjarkan klien tentang makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan
6.      Bantu klien untuk mencatat makanan kesukaan dalam diet yang dianjurkan
7.      Observasi pilihan makanan klien sesuai dengan diet yang dianjurkan
8.      Anjurkan membuat rencana makan
9.      Dorong untuk mengikuti informasi yang diberikan oleh tenaga kesehatan lain
10.  Konsul ahli gizi
11.  Libatkan keluarga

c.Ajarkan : pengobatan
1.         Jelaskan klien utk mengenal karakteristik obat
2.         Informasikan nama generik dan nama dagang
3.         Jelaskan tujuan dan kerja obat
4.         Jelaskan dosis, rute dan durasi obat
5.         Evaluasi kemampuan klien menggunakan obat
6.         Ajarkan klien untuk melakukan prosedur sebelum minum obat
7.         Informasikan apa yang dilakukan jika dosis obat hilang
8.         Informasikan akibat  tidak minum obat
9.         Informasikan efek samping obat
10.     Jelaskan tanda dan gejala over dosis obat
11.     Jelaskan cara menyimpan obat
12.     Jelaskan interaksi obat
13.     Jelaskan cara mencegah atau mengurangi efek samping obat
14.     Berikan informasi tertulis tentang aksi, tujuan, efek samping obat, dll
4
Defisit Perawatan Diri
(kurang perawatan diri : mandi, berpakaian, makan, dan toileting)

Definisi :
Gangguan kemampuan untuk melakukan ADL pada diri

Batasan karakteristik : ketidakmampuan untuk mandi, ketidakmampuan untuk berpakaian, ketidakmampuan untuk makan, ketidakmampuan untuk toileting

Faktor yang berhubungan : kelemahan, kerusakan kognitif atau perceptual, kerusakan neuromuskular/ otot-otot saraf.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam, klien mampu melakukan perawatan diri: Activities  of Daily Living (ADL), dengan indikator:
a.       makan
b.      berpakaian
c.       toileting
d.      mandi
e.       berhias
f.       hygiene
g.      oral hygiene
h.      ambulasi: berjalan
i.        ambulasi: wheelchair
j.        transfer performance

1.Bantu dalam perawatan diri (mandi, berpakaian, berhias, makan, toileting)
Definisi : membantu pasien untuk memenuhi ADL
Intervensi :
1.      Monitor kemempuan klien untuk perawatan diri yang mandiri.
2.      Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu untuk kebersihan diri, berpakaian, berhias, toileting dan makan.
3.      Sediakan bantuan sampai klien mampu secara utuh untuk melakukan self-care.
4.      Dorong klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang normal sesuai kemampuan yang dimiliki.
5.      Dorong untuk melakukan secara mandiri, tapi beri bantuan ketika klien tidak mampu melakukannya.
6.      Ajarkan klien/ keluarga untuk mendorong kemandirian, untuk memberikan bantuan hanya jika pasien tidak mampu untuk melakukannya.
7.      Berikan aktivitas rutin sehari- hari sesuai kemampuan.
8.      Pertimbangkan usia klien jika mendorong pelaksanaan aktivitas sehari-hari. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TEORI MADELEINE M. LAININGER

TEORI MADELEINE M. LAININGER A.     Latar Belakang Pada era globalisasi seperti ini dan semakin berkembangnya tekhnologi secara t...