Cari Blog Ini

Senin, 20 Agustus 2018

LAPORAN PENDAHULUAN CA.COLLON


LAPORAN PENDAHULUAN
Kanker Kolorektal pada Masyarakat Perkotaan Presentase penduduk perkotaan biasa dinyatakan sebagai urbanisasi. Urbanisasi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu pertumbuhan alami penduduk daerah perkotaan, migrasi dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan, dan reklasifikasi desa perdesaan menjadi desa perkotaan (Proyeksi Penduduk, n.d). Indonesia diperkirakan oleh PBB menjadi negara keempat dengan perkiraan urbanisasi terbanyak setelah negara India, China, Nigeria dan Amerika Serikat (The President Post Indonesia, 2013). Di Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara ke 5 dengan presentase urban tertinggi. Kenyataan di dunia menunjukkan bahwa pola hidup masyarakat dunia memang sudah sangat berubah. Hal ini diakibatkan oleh proses globalisasi, kemajuan teknologi, komunikasi dan transportasi yang canggih dan sebagainya. Pola hidup manusia zaman sekarang tidak lagi terpusat pada wilayah pedesaan tetapi semakin beralih ke pusat-pusat perkotaan (The President Post Indonesia, 2013).
Potter & Perry (2005) memaparkan bahwa faktor resiko yang terdapat pada lingkungan internal individu dalam masyarakat meliputi faktor genetik, fisiologis, usia, gaya hidup, kebiasaan dan perilaku makan, kebiasaan olahraga dan aktivitas, dan stres emosional. Faktor resiko kanker kolorektal lebih sering terdapat pada gaya hidup masyarakat di perkotaan, diantaranya ialah obesitas, diet tinggi lemak, konsumsi daging merah, konsumsi makanan olahan, kurangnya konsumsi buah dan sayur, konsumsi alkohol, merokok dan kurangnya olahraga secara teratur dan terukur (Newton, 2009).
 Kota yang memiliki jumlah penduduk dan tingkat aktivitas yang tinggi, masyarakat di dalamnya akan memiliki faktor resiko lebih dibandingkan desa. Seiring dengan bertambahnya penduduk di kota, bertambah pula kendaraan, sehingga dulu orang bisa jalan beberapa kilometer dalam sehari namun saat ini orang akan lebih memilih naik kendaraan. Dari segi perilaku makan, dulu orang Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013  Universitas Indonesia banyak makan makanan berserat, seperti sayur-sayuran, sedangkan saat ini lebih banyak makan makanan siap saji (fast food) yang tinggi lemak.
Spesialis pencernaan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM) mengatakan bahwa perubahan lingkungan tempat tinggal masyarakat saat ini juga dapa mempengaruhi faktor resiko kanker kolorektal (Kartika, 2013). Contohnya, perubahan bentuk toilet dari toilet jongkok ke toilet duduk. Pakar pencernaan mengatakan bahwa BAB dengan berjongkok dapat membuat sfingter ani lebih rileks, sekaligus meluruskan posisi kolon sehingga memudahkan proses buang air (Kartika, 2013). Nancy Milio (1981) dalam Allender & Spradley (2001) memaparkan sebuah framework dalam memandang pola atau gaya hidup masyarakat yang kurang sehat. Milio mengatakan pola-pola perilaku populasi dan individu yang membentuk populasi adalah hasil seleksi kebiasaan dari pilihan yang terbatas. Milio berpendapat, pemerintah dan kebijakan kelembagaan, seharusnya menetapkan berbagai pilihan sehat kepada mayarakat untuk akhirnya masyarakat membuat pilihan pribadi. Hal ini lebih menekankan pada faktorfaktor penentu kesehatan masyarakat dan mencoba untuk mempengaruhi masyarakat melalui kebijakan publik. 2.2 Kanker Kolorektal 2.2.1 Definisi Kanker adalah sebuah proses penyakit yang ditandai dengan adanya sel abnormal yang ditransformasikan oleh mutasi genetik dari sel DNA (Smeltzer & Bare, 2002). Kanker kolorektal adalah kanker yang terdapat pada kolon dan rektum. Zhang (2008) mengatakan kanker kolorektal merupakan bentuk malignansi yang terdapat pada kolon asending, transversal, desending, sigmoid dan rektal. Kanker kolorektal dapat didefinisikan sebagai keganasan atau pertumbuhan sel abnormal pada area usus besar (kolon) dan rektum.
Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 7 Universitas Indonesia 2.2.2 Etiologi dan Faktor Resiko Penyebab pasti dari kanker kolorektal belum diketahui secara pasti (Black & Hawks, 2009). Kejadian kanker kolorektal pada pria ataupun wanita tidak memiliki perbedaan yang signifikan, begitupun dengan etnik. Black & Hawks dalam bukunya memaparkan, memang terjadi prevalensi dan tingkat mortalitas tinggi pada keturunan Amerika dan Afrika, namun ini mungkin disebabkan karena mayoritas dari mereka melakukan diet tinggi lemak, makanan olahan dan kurangnya asupan buah dan sayuran. Mutasi gen dipercaya menjadi salah satu etiologi dari kanker kolorektal yang dapat diturunkan, yang biasa disebut sebagai Inherited Familial Colorectal Cancer Syndromes. Sindrom ini terdiri dari dua tipe, yakni Familial Adenomatous Polyposis (FAP) dan Hereditary Nonpolyposis Cancer Colorectal Cancer (HNPCC). FAP memiliki karakteristik berupa kecenderungan dalam pertumbuhan polip kolon secara multipel (bahkan ratusan). Sembilan puluh persen dari pasien yang memiliki FAP yang belum mendapat perawatan akan mengalami kanker kolorektal pada usia 45 tahun (Zhang, 2008).
Hereditary Nonpolyposis Cancer Colorectal Cancer atau HNPCC menurut Black (2009) dapat menyebabkan kanker kolorektal karena adanya lesi atau luka pada kolon. Berbeda dengan FAP, biasanya individu dengan HNPCC dapat mengalami kanker kolon pada usia 20 tahun, dengan rerata kejadian pada usia 48 tahun (mendapat diagnosa kanker kolorektal). Inflamasi usus, khususnya Ulcerative Colitis (UC) ataupun penyakit Crohn adalah etiologi atau faktor resiko yang juga terdapat pada kanker kolorektal. Penyakit inflamasi usus adalah kumpulan penyakit kronik (UC dan Crohn’s disease) yang menyebabkan terjadinya inflamasi dan atau ulserasi pada usus besar, yang menimbulkan nyeri pada perut, diare, demam dan penurunan BB (Smeltzer & Bare, 2002). Individu yang terkena UC selama 10 hingga 20 tahun, akan mendapat resiko atau Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 8 Universitas Indonesia kemungkinan terjadinya kanker kolorektal 0,5% per tahunnya, dan 1 persen per tahun setelah 20 tahun setelah munculnya UC (Zhang, 2008). Empat puluh tahun setelah munculnya UC, kemungkinan untuk terjadinya kanker kolorektal meningkat menjadi 30%. Penyakit Crohn juga menunjukkan faktor resiko yang serupa dengan UC pada kejadian kanker kolorektal. Kondisi gaya hidup masyarakat perkotaan sebagian besar menjadi faktor resiko dari penyakit kanker kolorektal. Hal ini disebabkan karena gaya hidup masyarakat perkotaan dan modern meliputi konsumsi tinggi lemak, makanan olahan, konsumsi protein hewan dan rendah serat, serta kurangnya aktivitis atau olahraga fisik yang teratur dan terukur (Potter, 1999 dalam Ruddon, 2007). Faktor resiko kanker kolorektal lebih sering terdapat pada gaya hidup masyarakat di perkotaan, diantaranya ialah gaya hidup masyarakat, obesitas, diet tinggi lemak, konsumsi daging merah, konsumsi makanan olahan, kurangnya konsumsi buah dan sayur, konsumsi alkohol, merokok dan kurangnya olahraga secara teratur dan terukur (Newton, 2009). Beberapa penelitian bahkan memaparkan bahwa kurangnya konsumsi buah dan sayuran merupakan faktor resiko utama dari kanker kolorektal (Stewart & Kleihues, 2003 dalam Ruddon, 2007). 2.2.3 Patofisiologi Keberadaan sel kanker pada seseorang tidak hanya berasal dari efek karsinogen seseorang, baik yang didapat dari luar ataupun dari dalam tubuh manusia itu sendiri. Kanker kolorektal khususnya, memiliki hubungan terhadap kondisi feses dari individu, serta riwayat penyakit yang diderita, dimana kondisi tersebut merupakan dampak dari faktor resiko yang ada pada individu seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Kanker pada kolon dan rektum dapat diawali dengan adanya riwayat polip pada individu. Polip merupakan massa dari jaringan yang Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 9 Universitas Indonesia menonjol pada lumen usus (Smeltzer & Bare, 2002). Polip yang tidak diatasi atau dilakukan intervensi, dapat berubah menjadi maligna. Polip yang telah berubah menjadi ganas tersebut akan menyerang dan menghancurkan sel yang normal dan meluas di jaringan sekitarnya. Manusia pada dasarnya memiliki zat karsinogen atau zat pemicu kanker pada tubuh. Efek karsinogen akan semakin meningkat apabila mendapat penyebab kanker dari luar. Zat karsinogen juga berpotensi untuk menyebabkan proliferasi sel kanker. Corwin (2001) menyatakan, kurangnya asupan antioksidan dengan minimnya konsumsi buah dan sayuran yang mengandung antioksidan (seperti vitamin E, vitamin C, dan beta karoten) dapat mengurangi perlindungan sel terhadap efek karsinogen. Buah dan sayuran yang segar memiliki enzim aktif yang dapat memelihara dan meningkatkan pertumbuhan sel yang sehat. Kondisi feses yang kurang baik juga dapat memicu terjadinya kanker kolon. Aktivitas atau olahraga yang kurang teratur dan terukur dapat mengakibatkan feses menjadi lebih lama berada di kolon atau rektum, terlebih jika individu melakukan diet rendah serat. Kondisi ini dapat mengakibatkan toksin yang terdapat dalam feses mencetuskan pertumbuhan sel kanker (Corwin, 2001).
Feses yang mengandung banyak lemak juga dapat memicu sel kanker. Tingginya lemak dalam feses diakibatkan oleh konsumsi tinggi lemak seperti daging. Feses yang mengandung banyak lemak dapat mengubah flora dalam feses menjadi bakteri Clostrida & Bakteriodes yang mempunyai enzim 7-alfa dehidrosilase yang mencerna asam menjadi asam Deoxycholi dan Lithocholic (yang bersifat karsinogenik) meningkat dalam feses. Massa kanker yang terdapat pada kolon ataupun rektum akan menyebabkan adanya sumbatan atau obstruksi, yang mengakibatkan evakuasi feses yang terhambat atau tidak lengkap setelah defekasi. Akibat lebih lanjutnya ialah konstipasi, distensi atau nyeri abdomen, Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 10 Universitas Indonesia hingga feses berdarah. Apabila massa kanker ini tidak dideteksi sejak dini dan dibiarkan, maka besar kemungkinan sel kanker akan melakukan metastasis. Metastasis pada sel kanker kolorektal terdiri dari penyebaran langsung, penyebaran limfogen, dan hematogen. Proses patofisiologi serta metastasis sel kanker dapat dilihat pada bagan 2.1 berikut. Skema 2.1 Bagan patofisiologi kanker kolorektal (Sumber: Corwin, 2001; Smeltzer & Bare, 2002; Zhang, 2008) Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 11 Universitas Indonesia 2.2.4 Pemeriksaan dan Diagnosis Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan abdomen dan colok dubur. Pemeriksaan abdomen dapat dilakukan dengan palpasi abdomen (tumor kecil atau tahap dini akan sulit teraba). Palpasi abdomen dapat juga untuk memeriksa adanya manifestasi klinis konstipasi, distensi dan nyeri tekan abdominal. Pemeriksaan colok dubur dilakukan untuk mengetahui langsung adanya massa pada rektum. Pemeriksaan ini biasanya akan terasa nyeri pada pasien, oleh karena itu pada saat pemeriksaan baiknya disertai dengan teknik relaksasi napas dalam pada pasien. Prosedur diagnostik yang dapat dilakukan untuk pemeriksaan kanker kolorektal adalah pengujian darah samar pada feses, foto kolon dengan enema barium atau kontras ganda, proctosigmoideoscopy (pemeriksaan rektum dan sigmoid dengan memasukkan selang berlampu melalui anus), dan kolonoskopi (pemeriksaan dengan serat optik). Smeltzer & Bare (2002) merekomendasikan pemeriksaan untuk individu dewasa dengan usia 50 tahun ke atas agar melakukan pemeriksaan kolonoskopi setiap 5-10 tahun serta pemeriksaan feses. Biopsi atau pengambilan sampel jaringan juga dapat dilakukan sebagai deteksi.
Enam puluh persen dari kasus kolorektal dapat diidentifikasi melalui biopsi atau pengujian feses (Yamada et al, 1999 dalam Smeltzer & Bare, 2002). Pemeriksaan lain untuk deteksi kanker ialah pemeriksaan Carcinoembryogenic Antigen (CEA). Carcinomryogenic antigen dapat menjadi indikator untuk mendiagnosis kanker kolon, namun perlu diketahui bahwa tidak semua lesi pada kanker mensekresikan CEA (Corwin, 2001). Sel tumor ataupun kanker pada kolon dapat menyebabkan peningkatan level CEA, dimana normalnya akan kembali normal dalam 48 jam. Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 12 Universitas Indonesia Diagnosis kanker kolorektal berdasarkan stadium dan prognosisnya dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut. Tabel 2.1 Stadium dan Prognosis Kanker Kolorektal (Sumber: Sudoyo, dkk, 2006) STADIUM Derajat Hispatologi Dukes TNM Derajat A T1N0M0 I Kanker terbatas pada mukosa/submukosa B1 T2N0M0 I Kanker mencapai muskularis B2 T2N0M0 II Kanker cenderung melewati lapisan serosa C TXN1M0 III Invasi ke dalam sistem limfe/KGB D TXNXM1 IV Metastasis tahap lanjut & penyebaran yang luas Keterangan: · Tumor Primer (T) - T0: Tidak ada bukti tumor primer - T1: Tumor < 2 cm dalam dimensi terbesarnya - T2: Tumor > 2 cm tetap tidak > 5 cm dalam dimensi terbesarnya - T3: Tumor > 5 cm dalam dimensi terbesarnya · Nodus Limfe Regional (N) - N0: Tidak ada metastasis nodus limfe regional - N1: Metastasis ke nodus limfe yang dapat digerakkan · Metastasis Jauh (M) - M0: Tidak ada metastasis yang jauh - M1: Metastasis jauh Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 13 Universitas Indonesia 2.2.5 Penatalaksanaan Kanker Kolorektal Penatalakasanaan pada pasien dengan kanker kolorektal meliputi penatalaksanaan medis, bedah dan keperawatan. Penatalaksanaan medis meliputi kemoterapi dan terapi radiasi. Kemoterapi merupakan terapi modalitas untuk mengeliminasi sel kanker. Idealnya, agen kemoterapi akan menyerang dan menghentikan pertumbuhan sel tumor, namun pada kenyataannya sel yang sehat juga ikut dimatikan. Efek ini akhirnya menimbulkan rasa mual, muntah dan rambut rontok. terapi medis yang kedua yaitu terapi radiasi.
Terapi radiasi menggunakan radiasi terionisasi seperti sinar-X atau gamma (g). Terapi radiasi memiliki tingkat penyembuhan yang tinggi untuk kasus kanker. Sinar radiasi yang dikirimkan akan diabsorbsi oleh sel, sehingga akan terjadi kehancuran pada mutasi DNA. Dosis dari radiasi biasanya dihitung dengan jumlah energi yang diserap per unit massa dangan standar unit atau satuan gray (Gy), atau satu joule per kilogram (Zhang, 2008). Ketika sampai pada sel tumor, dosis pada radiasi akan terbatas pada kerusakan di sel sehat yang ada di sekitar area radiasi. Seseorang yang mendapat terapi radiasi harus menjaga agar kulit pada area yang di radiasi tidak terkena dengan air karena dapat merusak kulit tersebut. Reaksi tidak langsung antara molekul air dengan ion pada sinar radiasi akan menjadi tidak stabil. Elektron yang mengelilingi atom hidrogen dan oksigen akan terpental keluar dari orbitnya, membuat molekul OH kekurangan elektron, menjadi OH- dan atom hidrogen menjadi kelebihan elektron (H+) (Tjokronagoro, 2004). Ion ini bersifat tidak stabil dan berubah menjadi H radikal dan OH radikal. Ion-ion radikal ini bersifat menyebabkan kerusakan pada inti sel yang berujung pada kematian sel.
Penatalaksanaan bedah terhadap pasien kanker kolorektal meliputi reseksi segmental dan pembuatan kolostomi. Reseksi segmental dengan anastomosis dibutuhkan untuk mengangkat tumor dan sebagian kolon Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 14 Universitas Indonesia yang terkena pertumbuhan tumor, berikut dengan pemuluh darah dan limfanya. Pengangkatan rektum (yang terkena kanker) tanpa merusak anus disebut sebagai Low anterior Resection (LAR). Pada operasi ini, setelah pengangkatan, kolon proksimal akan dihubungkan dengan bagian rektum. Operasi ini biasa dilakukan pada pasien dengan kanker kolorektal stadium II atau III pada ½ bagian atas rektum (dekat perbatasan dengan kolon). Pembedahan lain yaitu pembedahan kolostom. Pembedahan kolostomi dapat berupa kolostomi sigmoid dan pengangkatan sebagian sigmoid, rektum dan sfingter ani. Pada pasien palliative care, kolostomi ataupun ileostomi permanen biasanya dibuat dengan tanpa mengangkat organ yang terkena kanker. Penatalaksanaan keperawatan terhadap pasien kanker kolorektal meliputi pemenuhan kebutuhan dasar pasien. Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah (Smeltzer & Bare, 2002): a Mempertahankan eliminasi pasien b Mempertahankan atau meningkatkan kenyamanan c Meningkatkan toleransi aktivitas d Membantu pemberian nutrisi optimal e Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit f Melakukan perawatan kulit, luka dan kolostomi (pasca bedah) 2.3 Kolostomi 2.3.1 Definisi Kolostomi adalah pembuatan stoma atau lubang pada kolon atau usus besar (Smeltzer & Bare, 2002). Melville & Baker (2010) mengatakan kolostomi merupakan tindakan pembedahan untuk membuka jalan usus besar ke dinding abdomen anterior. Akhir atau ujung dari usus besar yang dikeluarkan pada abdomen disebut sebagai stoma. Stoma itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti mulut. Stoma bersifat basah, mengkilat dan permukaannya berwarna merah, seperti membran mukosa pada oral. Stoma tidak memiliki ujung syaraf sehingga tidak Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 15 Universitas Indonesia terlalu sensitif terhadap sentuhan ataupun nyeri. Akan tetapi stoma kaya akan pembuluh darah dan mungkin dapat berdarah jika dilakukan pengusapan. Hal ini termasuk normal, hanya perlu diwaspadai jika darah yang keluar terus menerus dan dalam jumlah banyak. Kolostomi memungkinkan pasien dengan kanker kolorektal melakukan proses eleminasi BAB dengan lancar. Akan tetapi, berbeda dengan proses eliminasi normal, pasien tidak dapat mengontrol pengeluaran feses. Feses yang keluar dari stoma akan ditampung pada kantung kolostomi yang direkatkan pada abdomen. Pada awal pembedahan, konsistensi feses akan nampak lebih cair, namun akan membaik secara bertahap hingga mencapai konsistensi yang normal, sesuai dengan letak stoma pada kolon. 2.3.2 Jenis Kolostomi a Loop Stoma atau transversal Loop stoma merupakan jenis kolostomi yang dibuat dengan membuat mengangkat usus ke permukaan abdomen, kemudian membuka dinding usus bagian anterior untuk memungkinkan jalan keluarnya feses. Biasanya pada loop stoma selama 7 hingga 10 hari pasca pembedahan disangga oleh semacam tangkai plastik agar mencegah stoma masuk kembali ke dalam rongga abdomen. Gambar 2.1 di bawah menunjukkan gambar dari loop stoma. Gambar 2.1 Loop Colostomy (Sumber: Melville & Baker, 2010) Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 16 Universitas Indonesia b End Stoma End stoma merupakan jenis kolostomi yang dibuat dengan memotong usus dan mengeluarkan ujung usus proksimal ke permukaan abdomen sebagai stoma tunggal. Usus bagian distal akan diangkat atau dijahit dan ditinggalkan dalam rongga abdomen. Gambar 2.2 menunjukkan gambar dari end stoma. Gambar 2.2 End Sigmoid (Sumber: Mellville & Baker, 2010) c Fistula Mukus Fistula mukus merupakan bagian usus distal yang dikeluarkan ke permukaan abdomen sebagai stoma nonfungsi. Biasanya fistula mukus terdapat pada jenis stoma double barrel dimana segmen proksimal dan distal usus di keluarkan ke dinding abdomen sebagai dua stoma yang terpisah, seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.3 berikut. Gambar 2.3 End Colostomy dan Fistula Mukus (Sumber: Mellville & Baker, 2010) d Tube Caecostomies Stoma pada Tube Caecostomies bukan merupakan stoma dari kolon, karena kolon tidak dikeluarkan hingga ke permukaan Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 17 Universitas Indonesia abdomen. Tipe kolostomi ini menggunakan kateter foley yang masuk ke dalam sekum hingga ujung apendiks pasca operasi apendiktomi melalui dinding abdomen. Kateter ini membutuhkan irigasi secara teratur untuk mencegah sumbatan 2.3.3
Masalah Kesehatan yang Terjadi akibat Kolostomi Masalah yang banyak terjadi pasca pembuatan kolostomi adalah iritasi pada kulit di sekitar stoma (Smeltzer & Bare, 2002). Iritasi pada area kulit peristomal banyak terjadi terutama pada lansia, disebabkan oleh lapisan epitel dan lemak subkutan yang semakin tipis karena proses penuaan sehingga kulit menjadi semakin mudah mengalami iritasi (Smeltzer & Bare, 2002). Pada dasarnya, bahan pada kantong kolostomi yang menempel pada permukaan kulit sudah didesain agar tidak menyebabkan iritasi pada kulit (WOCN, 2008). Ostomate (individu yang memiliki stoma) dengan kulit yang sensitif mungkin membutuhkan tes skin patch jika mengeluhkan adanya beberapa reaksi terhadap penempelan beberapa kantong kolostomi. Gambar 2.4 menunjukkan gambar area kulit yang mengalami alergi terhadap pemasangan kantong kolostomi. Gambar 2.4 Allergic Contact Dermatitis (Sumber: Eucomed, 2012) Individu yang memiliki stoma memiliki resiko terkena infeksi Candida albicans yang biasa dikenal sebagai infeksi ragi atau jamur (Eucomed, 2012). Hal ini dikarenakan kulit peristomal memiliki karakteristik hangat, lembap dan tertutup (oleh kantong kolostomi) dimana lingkungan ini kondusif terhadap pertumbuhan jamur. Kulit yang terkena infeksi ini akan berubah menjadi kemerahan dan terasa Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 18 Universitas Indonesia gatal. Medikasi topical antifungal dapat dioleskan pada area yang terkena infeksi. Gambar 2.5 menunjukkan gambar kulit peristomal yang terkena infeksi Candida albicans. Gambar 2.5 Infeksi Candida albicans (Sumber: Eucomed, 2012) Rasa gatal, panas dan seperti terbakar pada area penempelan kantong kolostomi mengindikasikan adanya lecet, ruam ataupun infeksi pada kulit (WOCN, 2008). Hal terpenting dalam pencegahan infeksi pada kulit adalah dengan melakukan perawatan kulit peristomal dengan baik. Pemasangan kantong kolostomi yang sesuai dengan stoma merupakan pencegahan utama terjadinya iritasi dan infeksi pada kulit. Skin barrier (dalam bentuk salep ataupun bedak) dapat diberikan pada area peristomal 30 detik sebelum kantong kolostomi ditempelkan pada kulit (Smeltzer & Bare, 2002). Masalah lain yang biasa dikeluhkan oleh ostomate adalah pengeluaran gas dan bau dari stoma, konstipasi dan diare (Eucomed, 2012). Pengeluaran gas dan bau pada stoma menjadi masalah pada ostomate karena berbeda dengan pengeluaran melalui anus, pengeluarannya melalui stoma tidak dapat dikontrol. Gas yang terdapat pada saluran pencernaan didapatkan dari beberapa jenis makanan seperti makanan berpengawet, brokoli, kubis, jagung, timun, bawang, dan lobak. Gas juga didapatkan dari menelan udara (secara tak sengaja) pada saat berbicara, makan, merokok dan sebagainya (Eucomed, 2012). Oleh karena itu ostomate dianjurkan untuk mengunyah makanan secara perlahan untuk meminimalkan udara yang masuk. Bau pada gas atau feses yang dikeluarkan juga dapat diakibatkan oleh beberapa makanan Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 19 Universitas Indonesia seperti telur, keju, ikan, bawang, dan kubis (Canada Care Medical, n.d). Konstipasi dapat terjadi pada ostomate akibat diet yang tidak seimbang, serta intake makanan berserat ataupun cairan yang kurang (Gutman, 2011). Apabila ostomate mengalami konstipasi maka perlu peningkatan asupan makanan berserat seperti gandum, sayur dan buat, serta asupan cairan. Hampton (2007) merekomendasikan minimal konsumsi 8-10 gelas air per hari, atau 1,5 hingga 2 liter air per hari (dapat termasuk teh, kopi ataupun jus). Melakukan aktivitas fisik ringan seperti bersepeda, jogging juga dapat membantu meningkatkan pergerakan bowel dan mengatasi konstipasi. Diare merupakan bertambahnya kompisisi cairan pada feses disertai dengan frekuensi BAB yang meningkat dari kebiasaan normal individu (Eucomed, 2012). Akibat dari diare adalah hilangnya cairan dan elektrolit pada tubuh indvidu. Diare umumnya terjadi pada pasien dengan ileostomi namun dapat terjadi juga pada klien dengan kolostomi. Individu dengan pembuatan stoma di kolon asenden dan transversal akan mengalami perubahan konsistensi feses seperti diare, namun hal ini normal karena penyerapan air pada kolon asenden dan transversal masih minimal. Penatalaksanaan diare, seperti halnya konstipasi, meliputi manajemen diet. Pada saat diare terjadi, individu akan beresiko kehilangan banyak kalium, sehingga butuh asupan makanan mengandung kalium seperti pisang, jeruk, tomat, ubi, kentang, dan gandum (Canada Care Medical, n.d). 2.3.4 Komplikasi Stoma Komplikasi atau masalah pada stoma dapat muncul setelah pembedahan kolostomi, di antaranya paling banyak terjadi pada tahun pertama pasca pembedahan (Truven Health Analytics, 2012). Beberapa komplikasi akan dijelaskan sebagai berikut: Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 20 Universitas Indonesia a Retraksi Stoma Retraksi merupakan kondisi dimana stoma tertarik ke dalam abdomen. Retraksi dapat terjadi bila kolon tidak segera aktif pasca pembedahan kolostomi. Bertambahnya berat badan juga memungkinkan untuk terjadinya retraksi. Tipe kantong kolostoma harus disesuaikan agar pas dengan bentuk stoma setelah terjadi retraksi. Retraksi belum menjadi sebuah komplikasi berat dari stoma jika retraksi stoma ke dalam abdomen < 5 cm dari batas permukaan abdomen. Gambar berikut merupakan contoh dari retraksi stoma. Gambar 2.6 Retraksi Stoma (Sumber: Eucomed, 2012) b Hernia Peristomal Hernia dapat terjadi bila ada bagian dari kolon di dalam abdomen yang menekan atau menonjol di area sekitar stoma. Hernia akan tampak semakin jelas ketika pasien sedang duduk, batuk ataupun mendesak abdomen (peningkatan tekanan intra abdomen). Beberapa pasien membutuhkan penggunaan sabuk khusus, ataupun rekomendasi untuk operasi guna memperbaiki kondisi hernia tersebut. Gambar berikut merupakan contoh hernia peristomal.
Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 21 Universitas Indonesia Gambar 2.7 Hernia Peristomal (Sumber: Eucomed, 2012) c Prolaps Prolaps dapat terjadi akibat proses pembukaan dinding abdomen yang terlalu lebar, fiksasi bowel pada dinding abdomen yang tidak adekuat ataupun akibat peningkatan tekanan intra abdomen. Prolaps yang disertai dengan iskemia atau obstruksi bowel, ataupun prolaps yang berulang dapat direkomendasikan untuk pembedahan ulang. Gambar stoma yang mengalami prolaps akan ditampilkan pada gambar 2.8. Gambar 2.8 Prolaps pada Stoma (Sumber: Eucomed, 2012) d Perdarahan Perdarahan stoma segera setelah operasi disebabkan oleh hemostasis yang tidak adekuat selama konstruksi stoma. Penyebab lain yang mungkin mengakibatkan perdarahan adalah adanya penyakit penyerta hipertensi portal, trauma oleh ujung tube saat irigasi atau pencukuran area sekitar abdomen atau cedera. Perdarahan ringan kadang memerlukan agen hemostasis topical, atau hanya penekanan langsung. Perdarahan masif atau berulang Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 22 Universitas Indonesia memerlukan penanganan faktor penyebab perdarahan, sedangkan pasien dengan hipertensi portal memerlukan sclerotheraphy atau portosystemic shunting. e Iskemik dan Nekrosis Stoma Iskemik dan nekrosis stoma dapat terjadi akibat adanya penekanan pada pembuluh darah sekitar stoma. Stoma yang baru dibuat melalui operasi harus di observasi setiap 4 jam sekali untuk mengkaji kondisi stoma, apakah suplai darah ke stoma adekuat atau tidak. Stoma yang tersuplai darah yang baik berwarna merah ataupun pink. Stoma yang berwarna ungu, coklat atau hitam menunjukkan adanya suplai darah yang inadekuat. Stoma yang sudah nekrotik membutuhkan operasi sebagai intervensi utama. Gambar 2.9 Nekrosis pada Stoma (Sumber: Eucomed, 2012) f Stenosis Stenosis merupakan penyempitan atau konstriksi pada ujung stoma. Hal ini dapat terjadi akibat adanya pembentukan jaringan scar di sekitar stoma yang menyebabkan stoma berangsur terhimpit dan menyempit. Gambar 2.10 menunjukkan stoma yang mengalami stenosis. Gambar 2.10 Stenosis pada Stoma (Sumber: Eucomed, 2012) Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 23 Universitas Indonesia 2.3.5 Asuhan Keperawatan Pasien dengan Kolostomi a Perawatan Kolostomi Kolostomi akan mulai berfungsi optimal sekitar 3-6 hari pasca pembedahan (Smeltzer & Bare, 2002). Perawatan kolostomi yang rutin akan dilakukan oleh pasien ataupun care giver baik di rumah sakit ataupun di rumah ialah mengganti kantong kolostomi dan membersihkan stoma. Kantong kolostomi adalah wadah untuk menampung feses yang keluar dari stoma. Kantong kolostomi dibuat dari material disposable atau digunakan hanya sekali, lalu dibuang. Jenis kantong kolostomi saat ini cukup beragam. Kantong kolostomi yang biasa digunakan ialah kantong kolostomi one-piece tertutup yang jika terisi harus segera dibuang dan diganti. Kantong kolostomi one-piece drainable memungkinkan pasien untuk membuang feses yang ada dalam kantong dengan membuka lubang yang ada di bawah kantong, seperti yang terlihat pada gambar 2.11 berikut. Gambar 2.11 Kantong Kolostomi (keterangan gambar dari kiri ke kanan: kantong one-piece drainable,kantong one-piece tertutup, drainable pouch untuk sistem two-pieces, flange untuk sistem two-pieces) (Sumber: Gutman, 2011) Perawatan kolostomi yang pertama ialah cara mengganti kantong kolostomi dan membersihkan area stoma. Kantong kolostomi sebaiknya dikosongkan atau diganti ketika kantong sudah terisi 1/3 bagian agar pasien tetap nyaman dengan kantong Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 24 Universitas Indonesia kolostominya. Kantong kolostomi yang dapat dikosongkan, dibersihkan dan digunakan kembali adalah jenis kantong kolostomi two-piece system atau kantong yang memiliki lubang drainase di bawahnya. Truven Health Analytics Inc. (2012) memaparkan, kantong kolostomi harus dikosongkan jika sudah 1/3 atau 1/2 penuh. Kantong kolostomi yang penuh akan menjadi berat dan dapat merusak perlengketan kantong kolostomi dengan kulit abdomen, selain itu kantong akan beresiko untuk robek atau rusak karena beban dalam kantong meningkat. Kantong kolostomi yang penuh juga akan membuat benjolan di balik pakaian dan dapat mengganggu penampilan. Kantong kolostomi drainable dapat dikosongkan dengan menekan bagian bawah kantong, kemudian mengeluarkan feses langsung ke dalam toilet. Kemudian kantong dapat dibersihkan atau dibilas meskipun Truven Health Analytics Inc mengatakan hal ini tidak begitu penting untuk dilakukan. Gambar 2.12 menunjukkan cara mengosongkan kantong kolostomi. Gambar 2.12 Cara Mengosongkan Kantong Kolostomi (Sumber: Truven Health Analytics Inc, 2012) Burch (2008) dalam Burch (2013) menyatakan mayoritas pasien dengan kolostomi mengganti kantong kolostominya 3 kali sehari hingga 3 kali seminggu, dengan rata-rata penggantian kolostomi secara rutin selama satu hari sekali. Ketika akan mengganti dengan kantong yang baru, perhatikan ukuran dari lubang kantong kolostomi. Ukuran lubang kantong kolostomi harus sesuai dengan Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 25 Universitas Indonesia stoma, beri kelonggaran sekitar 1/8 inci atau sekitar 0,3 cm (Canada Care Medical, n.d). Penggantian kantong kolostomi dimulai dengan melepaskan perlekatan kantong kolostomi dengan kulit abdomen secara perlahan sambil sedikit menekan kulit abdomen yang menempel dengan kantong, kemudian bersihkan stoma. Stoma dibersihkan dengan air, jika ingin menggunakan sabun, gunakan sabun yang tidak mengandung minyak ataupun parfum karena dapat mengiritasi (Truven Health Analytics Inc, 2012). Kulit di sekitar stoma harus dijaga agar tetap kering. Perawatan kolostomi erat kaitannya dengan perawatan kulit. Perawatan kulit di sekitar stoma dilakukan bersamaan dengan penggantian kantong kolostomi. Beberapa orang menggunakan air hangat saat melepaskan kantong stoma dari kulit abdomen, agar lebih mudah dan nyaman pada kulit. Terkadang kulit akan terlihat kemerahan atau lebih gelap segera setelah perekat kantong kolostomi dilepaskan, namun akan segera normal beberapa menit (WOCN Society, 2008). Hal ini dimungkinkan karena terjadi penekanan pada area kulit selama kantong terpasang, atau kantong kolostomi dilepaskan secara cepat dari kulit abdomen. Pasien ataupun care giver dapat sekaligus mengobservasi stoma setiap mengganti kantong kolostomi. Stoma yang normal akan terlihat merah atau pink terang, lembap, tidak mengerut dan tampak seperti membran mukosa oral (Borwell, 2011). Stoma normal akan memiliki produksi feses, tidak ada sumbatan serta tidak ada nyeri. Stoma yang tidak sehat atau mengalami nekrosis ditunjukkan dengan warna hitam atau biru kehitaman. Permukaan stoma yang tidak sehat akan tampak kering, terdapat darah yang terus keluar, stoma menonjol atau masuk ke dalam sebanyak 5 cm, ujung stoma mengerut, sedikit atau tidak ada produksi feses dan terdapat nyeri pada area stoma. Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 26 Universitas Indonesia Hal lain yang perlu diperhatikan dalam perawatan kolostomi ialah terkait perubahan eliminasi BAB. Pasien dengan kolostomi tidak dapat mengontrol BAB sehingga akan beresiko mengalami gangguan eliminasi BAB. Tindakan perawatan yang dapat dilakukan adalah irigasi kolostomi. Irigasi kolostomi merupakan suatu cara untuk mengeluarkan isi kolon (feses), yang dilakukan secara terjadwal dengan memasukkan sejumlah air dengan suhu yang sama dengan tubuh (hangat) (Putri, 2011). Irigasi memungkinkan pasien untuk menjadwalkan pengeluaran feses dari stomanya. Pergerakan bowel baiknya dalam keadaan regular dan bebas dari masalah saat akan dilakukan irigasi kolostomi. Irigasi kolostomi tidak dapat dilakukan bila pasien mengalami iritasi pada ususnya, prolaps stoma, hernia peristomal ataupun komplikasi stoma lainnya (Putri, 2011). Irigasi stoma juga tidak dapat dilakukan pada stoma yang terdapat pada kolon asenden dan tranversal. Alat yang dapat digunakan untuk proses irigasi kolostomi meliputi kontainer atau wadah air, tube (selang untuk mengalirkan cairan), cone dan plastic sleeve (Burch, 2013). Plastic sleeve berguna untuk mengalirkan keluaran feses dan cairan irigasi ke dalam toilet. Gambar 2.13 Water Container, Tube, Cone & Plastic Sleeve (Sumber: Gutman, 2011) Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 27 Universitas Indonesia Cara melakukan irigasi adalah sebagai berikut (Burch, 2013; Putri, 2011; Smeltzer & Bare, 2002): · Isi wadah dengan air hangat, tinggikan setinggi bahu (posisi duduk di toilet) · Alirkan cairan irigasi hingga ke ujung selang (membuang udara yang ada di sepanjang selang) · Posisikan kantong stoma (plastic sleeve) ke toilet · Olesi pelumas atau pelicin cone (jelly) sebelum masuk ke stoma · Masukkan cone kedalam stoma dengan perlahan, kemudian alirkan cairan sebanyak 300-500cc · Untuk hasil yang maksimal, alirkan kembali 500cc-1000cc, tahan selama 10 detik setelah cairan mengalir · Biarkan feses, cairan dan flatus keluar dari stoma menuju toilet melalui sleeve selama 10-15 menit. · Tutup kantong atau ganti kantong dengan kantong kolostomi biasa dan bereskan alat. Gambar 2.14 Irigasi Kolostomi (Sumber: Smeltzer & Bare, 2002) Setelah irigasi selesai dilakukan, pasien dapat melakukan aktivitas, meskipun selama 30-45 menit akan tetap ada pengeluaran baik feses, cairan ataupun flatus. Setelah bersih, kantong kolostomi dapat diganti kembali seperti biasa. Readding (2006) dalam Burch (2013) mengatakan ketika irigasi selesai Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 28 Universitas Indonesia dilakukan, small cap untuk stoma dapat digunakan untuk memungkinkan pasien terbebas dari pengeluaran feses dan flatus hingga irigasi selanjutnya. b Diet Nutrisi Pasien dengan kolostomi tidak dapat mengontrol pengeluaran feses dan flatus, oleh karena itu edukasi terkait nutrisi perlu diberikan kepada pasien agar terhindar dari gangguan odor ataupun konsistensi feses yang tidak normal. Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait nutrisi pada pasien dengan kolostomi ialah (Canada Care Medical, n.d; Gutman, 2011) : · Mengurangi makanan yang menimbulkan bau, yaitu kubis, kol, keju, telur, ikan, kacang polong, bawang, jengkol, pete · Mengurangi makanan yang mengandung gas seperti dengan brokoli, kubis, bawang, timun, jagung dan lobak, serta makan secara perlahan dengan mulut tertutup untuk meminimalkan udara yang masuk ke dalam sistem pencernaan. · Menambah makanan yang mengandung potassium seperti pisang, daging (non lemak), jeruk, tomat, kentang jika mengalami diare. Kurangi konsumsi keju, selai kacang, dan susu. · Mengatasi konstipasi (jika terjadi) dengan menambah makanan tinggi serat · Makan tiga kali sehari penting untuk meningkatkan aktivitas usus dan mencegah produksi gas · Gangguan pada pencernaan dapat juga berasal dari tekanan emosional, stress, atau kurangnya aktivitas fisik c Toleransi Aktivitas Individu dengan kolostomi dapat beraktivitas sebagaimana individu lainnya. Hanya saja dalam pemilihan jenis olahraga, hindari olahraga yang membutuhkan kontak fisik yang keras yang Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 29 Universitas Indonesia mungkin dapat menyebabkan cedera pada abdomen (khususnya stoma). Ostomate juga dapat melakukan olahraga renang dengan memilih desain baju renang yang menutupi kantong kolostomi yang terpasang pada abdomen, serta desain baju yang sedikit ketat agar lebih nyaman saat berenang. Kantong kolostomi harus tetap terpasang saat berenang untuk menjaga kebersihan stoma. Perekat waterproof dapat ditambahkan untuk lebih merekatkan kantong kolostomi pada kulit abdomen, jika dibutuhkan. Kantong kolostomi baiknya dikosongkan sesaat sebelum berenang, kemudian hindari makan berat atau banyak sebelum melakukan olahraga renang. Ostomate dapat melakukan traveling, tentunya dengan persiapan penggantian kantong kolostomi yang cukup. Bagi ostomate yang melakukan irigasi secara rutin, tetap harus berhati-hati dalam penggunaan air untuk irigasi. Apabila air yang ada di lokasi travelling mungkin dinyatakan tidak aman untuk dikonsumsi, maka jika ingin digunakan untuk kolostomi, air tersebut harus direbus terlebih dahulu, kemudian di diamkan dalam temperatur ruangan dan dapat digunakan untuk irigasi (Canada Care Medical, n.d). d Support Sosial Individu yang baru memiliki stoma biasanya akan ragu dan bertanya, bagaimana mereka dapat hidup dengan stoma pada tubuhnya, apakah mereka masih dapat menjalin hubungan dengan keluarga, relasi ataupun partner kerja, serta apa yang akan terjadi bila tiba-tiba kantong kolostomi yang sedang terpasang robek (Burch, 2013). Ketidakyakinan ini dapat diantisipasi dengan adanya kehadiran perawat spesialis ataupun support group (Ferrer et al, 2010 dalam Burch, 2013). Berbagi pada orang yang dipercaya, teman, keluarga, perawat, guru spiritual, serta orang Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 30 Universitas Indonesia lain yang juga memiliki stoma dapat mengurangi ketidaknyamanan tersebut. Selain support sosial, ostomate juga harus memiliki pandangan positif terhadap hidupnya, kesabaran dan sensasi humor untuk menghadapi setiap situasi sosial yang dirasakan terkait kolostominya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TEORI MADELEINE M. LAININGER

TEORI MADELEINE M. LAININGER A.     Latar Belakang Pada era globalisasi seperti ini dan semakin berkembangnya tekhnologi secara t...