LAPORAN
PENDAHULUAN
Kanker
Kolorektal pada Masyarakat Perkotaan Presentase penduduk perkotaan biasa
dinyatakan sebagai urbanisasi. Urbanisasi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu
pertumbuhan alami penduduk daerah perkotaan, migrasi dari daerah perdesaan ke daerah
perkotaan, dan reklasifikasi desa perdesaan menjadi desa perkotaan (Proyeksi
Penduduk, n.d). Indonesia diperkirakan oleh PBB menjadi negara keempat dengan
perkiraan urbanisasi terbanyak setelah negara India, China, Nigeria dan Amerika
Serikat (The President Post Indonesia, 2013). Di Asia Tenggara, Indonesia
menjadi negara ke 5 dengan presentase urban tertinggi. Kenyataan di dunia
menunjukkan bahwa pola hidup masyarakat dunia memang sudah sangat berubah. Hal
ini diakibatkan oleh proses globalisasi, kemajuan teknologi, komunikasi dan
transportasi yang canggih dan sebagainya. Pola hidup manusia zaman sekarang
tidak lagi terpusat pada wilayah pedesaan tetapi semakin beralih ke pusat-pusat
perkotaan (The President Post Indonesia, 2013).
Potter
& Perry (2005) memaparkan bahwa faktor resiko yang terdapat pada lingkungan
internal individu dalam masyarakat meliputi faktor genetik, fisiologis, usia,
gaya hidup, kebiasaan dan perilaku makan, kebiasaan olahraga dan aktivitas, dan
stres emosional. Faktor resiko kanker kolorektal lebih sering terdapat pada
gaya hidup masyarakat di perkotaan, diantaranya ialah obesitas, diet tinggi
lemak, konsumsi daging merah, konsumsi makanan olahan, kurangnya konsumsi buah
dan sayur, konsumsi alkohol, merokok dan kurangnya olahraga secara teratur dan
terukur (Newton, 2009).
Kota yang memiliki jumlah penduduk dan tingkat
aktivitas yang tinggi, masyarakat di dalamnya akan memiliki faktor resiko lebih
dibandingkan desa. Seiring dengan bertambahnya penduduk di kota, bertambah pula
kendaraan, sehingga dulu orang bisa jalan beberapa kilometer dalam sehari namun
saat ini orang akan lebih memilih naik kendaraan. Dari segi perilaku makan,
dulu orang Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia banyak makan makanan
berserat, seperti sayur-sayuran, sedangkan saat ini lebih banyak makan makanan
siap saji (fast food) yang tinggi lemak.
Spesialis
pencernaan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM) mengatakan bahwa
perubahan lingkungan tempat tinggal masyarakat saat ini juga dapa mempengaruhi
faktor resiko kanker kolorektal (Kartika, 2013). Contohnya, perubahan bentuk
toilet dari toilet jongkok ke toilet duduk. Pakar pencernaan mengatakan bahwa
BAB dengan berjongkok dapat membuat sfingter ani lebih rileks, sekaligus
meluruskan posisi kolon sehingga memudahkan proses buang air (Kartika, 2013).
Nancy Milio (1981) dalam Allender & Spradley (2001) memaparkan sebuah
framework dalam memandang pola atau gaya hidup masyarakat yang kurang sehat.
Milio mengatakan pola-pola perilaku populasi dan individu yang membentuk
populasi adalah hasil seleksi kebiasaan dari pilihan yang terbatas. Milio
berpendapat, pemerintah dan kebijakan kelembagaan, seharusnya menetapkan
berbagai pilihan sehat kepada mayarakat untuk akhirnya masyarakat membuat
pilihan pribadi. Hal ini lebih menekankan pada faktorfaktor penentu kesehatan
masyarakat dan mencoba untuk mempengaruhi masyarakat melalui kebijakan publik.
2.2 Kanker Kolorektal 2.2.1 Definisi Kanker adalah sebuah proses penyakit yang
ditandai dengan adanya sel abnormal yang ditransformasikan oleh mutasi genetik
dari sel DNA (Smeltzer & Bare, 2002). Kanker kolorektal adalah kanker yang
terdapat pada kolon dan rektum. Zhang (2008) mengatakan kanker kolorektal
merupakan bentuk malignansi yang terdapat pada kolon asending, transversal,
desending, sigmoid dan rektal. Kanker kolorektal dapat didefinisikan sebagai
keganasan atau pertumbuhan sel abnormal pada area usus besar (kolon) dan
rektum.
Asuhan
keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 7 Universitas Indonesia 2.2.2
Etiologi dan Faktor Resiko Penyebab pasti dari kanker kolorektal belum
diketahui secara pasti (Black & Hawks, 2009). Kejadian kanker kolorektal
pada pria ataupun wanita tidak memiliki perbedaan yang signifikan, begitupun
dengan etnik. Black & Hawks dalam bukunya memaparkan, memang terjadi
prevalensi dan tingkat mortalitas tinggi pada keturunan Amerika dan Afrika,
namun ini mungkin disebabkan karena mayoritas dari mereka melakukan diet tinggi
lemak, makanan olahan dan kurangnya asupan buah dan sayuran. Mutasi gen
dipercaya menjadi salah satu etiologi dari kanker kolorektal yang dapat
diturunkan, yang biasa disebut sebagai Inherited Familial Colorectal Cancer
Syndromes. Sindrom ini terdiri dari dua tipe, yakni Familial Adenomatous
Polyposis (FAP) dan Hereditary Nonpolyposis Cancer Colorectal Cancer (HNPCC).
FAP memiliki karakteristik berupa kecenderungan dalam pertumbuhan polip kolon
secara multipel (bahkan ratusan). Sembilan puluh persen dari pasien yang
memiliki FAP yang belum mendapat perawatan akan mengalami kanker kolorektal
pada usia 45 tahun (Zhang, 2008).
Hereditary
Nonpolyposis Cancer Colorectal Cancer atau HNPCC menurut Black (2009) dapat
menyebabkan kanker kolorektal karena adanya lesi atau luka pada kolon. Berbeda
dengan FAP, biasanya individu dengan HNPCC dapat mengalami kanker kolon pada
usia 20 tahun, dengan rerata kejadian pada usia 48 tahun (mendapat diagnosa
kanker kolorektal). Inflamasi usus, khususnya Ulcerative Colitis (UC) ataupun
penyakit Crohn adalah etiologi atau faktor resiko yang juga terdapat pada
kanker kolorektal. Penyakit inflamasi usus adalah kumpulan penyakit kronik (UC
dan Crohn’s disease) yang menyebabkan terjadinya inflamasi dan atau ulserasi
pada usus besar, yang menimbulkan nyeri pada perut, diare, demam dan penurunan
BB (Smeltzer & Bare, 2002). Individu yang terkena UC selama 10 hingga 20
tahun, akan mendapat resiko atau Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI,
2013 8 Universitas Indonesia kemungkinan terjadinya kanker kolorektal 0,5% per
tahunnya, dan 1 persen per tahun setelah 20 tahun setelah munculnya UC (Zhang,
2008). Empat puluh tahun setelah munculnya UC, kemungkinan untuk terjadinya
kanker kolorektal meningkat menjadi 30%. Penyakit Crohn juga menunjukkan faktor
resiko yang serupa dengan UC pada kejadian kanker kolorektal. Kondisi gaya
hidup masyarakat perkotaan sebagian besar menjadi faktor resiko dari penyakit
kanker kolorektal. Hal ini disebabkan karena gaya hidup masyarakat perkotaan
dan modern meliputi konsumsi tinggi lemak, makanan olahan, konsumsi protein
hewan dan rendah serat, serta kurangnya aktivitis atau olahraga fisik yang
teratur dan terukur (Potter, 1999 dalam Ruddon, 2007). Faktor resiko kanker
kolorektal lebih sering terdapat pada gaya hidup masyarakat di perkotaan,
diantaranya ialah gaya hidup masyarakat, obesitas, diet tinggi lemak, konsumsi
daging merah, konsumsi makanan olahan, kurangnya konsumsi buah dan sayur,
konsumsi alkohol, merokok dan kurangnya olahraga secara teratur dan terukur
(Newton, 2009). Beberapa penelitian bahkan memaparkan bahwa kurangnya konsumsi
buah dan sayuran merupakan faktor resiko utama dari kanker kolorektal (Stewart
& Kleihues, 2003 dalam Ruddon, 2007). 2.2.3 Patofisiologi Keberadaan sel
kanker pada seseorang tidak hanya berasal dari efek karsinogen seseorang, baik
yang didapat dari luar ataupun dari dalam tubuh manusia itu sendiri. Kanker
kolorektal khususnya, memiliki hubungan terhadap kondisi feses dari individu,
serta riwayat penyakit yang diderita, dimana kondisi tersebut merupakan dampak
dari faktor resiko yang ada pada individu seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya. Kanker pada kolon dan rektum dapat diawali dengan adanya riwayat
polip pada individu. Polip merupakan massa dari jaringan yang Asuhan
keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 9 Universitas Indonesia menonjol
pada lumen usus (Smeltzer & Bare, 2002). Polip yang tidak diatasi atau
dilakukan intervensi, dapat berubah menjadi maligna. Polip yang telah berubah
menjadi ganas tersebut akan menyerang dan menghancurkan sel yang normal dan
meluas di jaringan sekitarnya. Manusia pada dasarnya memiliki zat karsinogen
atau zat pemicu kanker pada tubuh. Efek karsinogen akan semakin meningkat
apabila mendapat penyebab kanker dari luar. Zat karsinogen juga berpotensi
untuk menyebabkan proliferasi sel kanker. Corwin (2001) menyatakan, kurangnya
asupan antioksidan dengan minimnya konsumsi buah dan sayuran yang mengandung
antioksidan (seperti vitamin E, vitamin C, dan beta karoten) dapat mengurangi
perlindungan sel terhadap efek karsinogen. Buah dan sayuran yang segar memiliki
enzim aktif yang dapat memelihara dan meningkatkan pertumbuhan sel yang sehat.
Kondisi feses yang kurang baik juga dapat memicu terjadinya kanker kolon.
Aktivitas atau olahraga yang kurang teratur dan terukur dapat mengakibatkan
feses menjadi lebih lama berada di kolon atau rektum, terlebih jika individu
melakukan diet rendah serat. Kondisi ini dapat mengakibatkan toksin yang
terdapat dalam feses mencetuskan pertumbuhan sel kanker (Corwin, 2001).
Feses
yang mengandung banyak lemak juga dapat memicu sel kanker. Tingginya lemak
dalam feses diakibatkan oleh konsumsi tinggi lemak seperti daging. Feses yang
mengandung banyak lemak dapat mengubah flora dalam feses menjadi bakteri
Clostrida & Bakteriodes yang mempunyai enzim 7-alfa dehidrosilase yang
mencerna asam menjadi asam Deoxycholi dan Lithocholic (yang bersifat
karsinogenik) meningkat dalam feses. Massa kanker yang terdapat pada kolon
ataupun rektum akan menyebabkan adanya sumbatan atau obstruksi, yang
mengakibatkan evakuasi feses yang terhambat atau tidak lengkap setelah
defekasi. Akibat lebih lanjutnya ialah konstipasi, distensi atau nyeri abdomen,
Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 10 Universitas Indonesia
hingga feses berdarah. Apabila massa kanker ini tidak dideteksi sejak dini dan
dibiarkan, maka besar kemungkinan sel kanker akan melakukan metastasis.
Metastasis pada sel kanker kolorektal terdiri dari penyebaran langsung,
penyebaran limfogen, dan hematogen. Proses patofisiologi serta metastasis sel
kanker dapat dilihat pada bagan 2.1 berikut. Skema 2.1 Bagan patofisiologi
kanker kolorektal (Sumber: Corwin, 2001; Smeltzer & Bare, 2002; Zhang,
2008) Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 11 Universitas
Indonesia 2.2.4 Pemeriksaan dan Diagnosis Pemeriksaan fisik yang dapat
dilakukan meliputi pemeriksaan abdomen dan colok dubur. Pemeriksaan abdomen
dapat dilakukan dengan palpasi abdomen (tumor kecil atau tahap dini akan sulit
teraba). Palpasi abdomen dapat juga untuk memeriksa adanya manifestasi klinis
konstipasi, distensi dan nyeri tekan abdominal. Pemeriksaan colok dubur
dilakukan untuk mengetahui langsung adanya massa pada rektum. Pemeriksaan ini
biasanya akan terasa nyeri pada pasien, oleh karena itu pada saat pemeriksaan
baiknya disertai dengan teknik relaksasi napas dalam pada pasien. Prosedur
diagnostik yang dapat dilakukan untuk pemeriksaan kanker kolorektal adalah
pengujian darah samar pada feses, foto kolon dengan enema barium atau kontras
ganda, proctosigmoideoscopy (pemeriksaan rektum dan sigmoid dengan memasukkan
selang berlampu melalui anus), dan kolonoskopi (pemeriksaan dengan serat
optik). Smeltzer & Bare (2002) merekomendasikan pemeriksaan untuk individu
dewasa dengan usia 50 tahun ke atas agar melakukan pemeriksaan kolonoskopi
setiap 5-10 tahun serta pemeriksaan feses. Biopsi atau pengambilan sampel
jaringan juga dapat dilakukan sebagai deteksi.
Enam
puluh persen dari kasus kolorektal dapat diidentifikasi melalui biopsi atau
pengujian feses (Yamada et al, 1999 dalam Smeltzer & Bare, 2002).
Pemeriksaan lain untuk deteksi kanker ialah pemeriksaan Carcinoembryogenic
Antigen (CEA). Carcinomryogenic antigen dapat menjadi indikator untuk
mendiagnosis kanker kolon, namun perlu diketahui bahwa tidak semua lesi pada
kanker mensekresikan CEA (Corwin, 2001). Sel tumor ataupun kanker pada kolon
dapat menyebabkan peningkatan level CEA, dimana normalnya akan kembali normal
dalam 48 jam. Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 12 Universitas
Indonesia Diagnosis kanker kolorektal berdasarkan stadium dan prognosisnya
dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut. Tabel 2.1 Stadium dan Prognosis Kanker
Kolorektal (Sumber: Sudoyo, dkk, 2006) STADIUM Derajat Hispatologi Dukes TNM
Derajat A T1N0M0 I Kanker terbatas pada mukosa/submukosa B1 T2N0M0 I Kanker
mencapai muskularis B2 T2N0M0 II Kanker cenderung melewati lapisan serosa C
TXN1M0 III Invasi ke dalam sistem limfe/KGB D TXNXM1 IV Metastasis tahap lanjut
& penyebaran yang luas Keterangan: · Tumor Primer
(T) - T0: Tidak ada bukti tumor primer - T1: Tumor < 2 cm dalam dimensi
terbesarnya - T2: Tumor > 2 cm tetap tidak > 5 cm dalam dimensi
terbesarnya - T3: Tumor > 5 cm dalam dimensi terbesarnya ·
Nodus Limfe Regional (N) - N0: Tidak ada metastasis nodus limfe regional - N1:
Metastasis ke nodus limfe yang dapat digerakkan · Metastasis Jauh
(M) - M0: Tidak ada metastasis yang jauh - M1: Metastasis jauh Asuhan
keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 13 Universitas Indonesia 2.2.5
Penatalaksanaan Kanker Kolorektal Penatalakasanaan pada pasien dengan kanker
kolorektal meliputi penatalaksanaan medis, bedah dan keperawatan.
Penatalaksanaan medis meliputi kemoterapi dan terapi radiasi. Kemoterapi
merupakan terapi modalitas untuk mengeliminasi sel kanker. Idealnya, agen
kemoterapi akan menyerang dan menghentikan pertumbuhan sel tumor, namun pada
kenyataannya sel yang sehat juga ikut dimatikan. Efek ini akhirnya menimbulkan
rasa mual, muntah dan rambut rontok. terapi medis yang kedua yaitu terapi
radiasi.
Terapi
radiasi menggunakan radiasi terionisasi seperti sinar-X atau gamma (g).
Terapi radiasi memiliki tingkat penyembuhan yang tinggi untuk kasus kanker.
Sinar radiasi yang dikirimkan akan diabsorbsi oleh sel, sehingga akan terjadi
kehancuran pada mutasi DNA. Dosis dari radiasi biasanya dihitung dengan jumlah
energi yang diserap per unit massa dangan standar unit atau satuan gray (Gy),
atau satu joule per kilogram (Zhang, 2008). Ketika sampai pada sel tumor, dosis
pada radiasi akan terbatas pada kerusakan di sel sehat yang ada di sekitar area
radiasi. Seseorang yang mendapat terapi radiasi harus menjaga agar kulit pada
area yang di radiasi tidak terkena dengan air karena dapat merusak kulit
tersebut. Reaksi tidak langsung antara molekul air dengan ion pada sinar radiasi
akan menjadi tidak stabil. Elektron yang mengelilingi atom hidrogen dan oksigen
akan terpental keluar dari orbitnya, membuat molekul OH kekurangan elektron,
menjadi OH- dan atom hidrogen menjadi kelebihan elektron (H+) (Tjokronagoro,
2004). Ion ini bersifat tidak stabil dan berubah menjadi H radikal dan OH
radikal. Ion-ion radikal ini bersifat menyebabkan kerusakan pada inti sel yang
berujung pada kematian sel.
Penatalaksanaan
bedah terhadap pasien kanker kolorektal meliputi reseksi segmental dan pembuatan
kolostomi. Reseksi segmental dengan anastomosis dibutuhkan untuk mengangkat
tumor dan sebagian kolon Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 14
Universitas Indonesia yang terkena pertumbuhan tumor, berikut dengan pemuluh
darah dan limfanya. Pengangkatan rektum (yang terkena kanker) tanpa merusak
anus disebut sebagai Low anterior Resection (LAR). Pada operasi ini, setelah
pengangkatan, kolon proksimal akan dihubungkan dengan bagian rektum. Operasi
ini biasa dilakukan pada pasien dengan kanker kolorektal stadium II atau III
pada ½ bagian atas rektum (dekat perbatasan dengan kolon). Pembedahan lain
yaitu pembedahan kolostom. Pembedahan kolostomi dapat berupa kolostomi sigmoid
dan pengangkatan sebagian sigmoid, rektum dan sfingter ani. Pada pasien
palliative care, kolostomi ataupun ileostomi permanen biasanya dibuat dengan
tanpa mengangkat organ yang terkena kanker. Penatalaksanaan keperawatan
terhadap pasien kanker kolorektal meliputi pemenuhan kebutuhan dasar pasien.
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah (Smeltzer & Bare, 2002): a
Mempertahankan eliminasi pasien b Mempertahankan atau meningkatkan kenyamanan c
Meningkatkan toleransi aktivitas d Membantu pemberian nutrisi optimal e
Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit f Melakukan perawatan kulit,
luka dan kolostomi (pasca bedah) 2.3 Kolostomi 2.3.1 Definisi Kolostomi adalah
pembuatan stoma atau lubang pada kolon atau usus besar (Smeltzer & Bare,
2002). Melville & Baker (2010) mengatakan kolostomi merupakan tindakan
pembedahan untuk membuka jalan usus besar ke dinding abdomen anterior. Akhir
atau ujung dari usus besar yang dikeluarkan pada abdomen disebut sebagai stoma.
Stoma itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti mulut. Stoma bersifat
basah, mengkilat dan permukaannya berwarna merah, seperti membran mukosa pada
oral. Stoma tidak memiliki ujung syaraf sehingga tidak Asuhan keperawatan ...,
Manggarsari, FIK UI, 2013 15 Universitas Indonesia terlalu sensitif terhadap
sentuhan ataupun nyeri. Akan tetapi stoma kaya akan pembuluh darah dan mungkin
dapat berdarah jika dilakukan pengusapan. Hal ini termasuk normal, hanya perlu
diwaspadai jika darah yang keluar terus menerus dan dalam jumlah banyak.
Kolostomi memungkinkan pasien dengan kanker kolorektal melakukan proses eleminasi
BAB dengan lancar. Akan tetapi, berbeda dengan proses eliminasi normal, pasien
tidak dapat mengontrol pengeluaran feses. Feses yang keluar dari stoma akan
ditampung pada kantung kolostomi yang direkatkan pada abdomen. Pada awal
pembedahan, konsistensi feses akan nampak lebih cair, namun akan membaik secara
bertahap hingga mencapai konsistensi yang normal, sesuai dengan letak stoma
pada kolon. 2.3.2 Jenis Kolostomi a Loop Stoma atau transversal Loop stoma
merupakan jenis kolostomi yang dibuat dengan membuat mengangkat usus ke
permukaan abdomen, kemudian membuka dinding usus bagian anterior untuk
memungkinkan jalan keluarnya feses. Biasanya pada loop stoma selama 7 hingga 10
hari pasca pembedahan disangga oleh semacam tangkai plastik agar mencegah stoma
masuk kembali ke dalam rongga abdomen. Gambar 2.1 di bawah menunjukkan gambar
dari loop stoma. Gambar 2.1 Loop Colostomy (Sumber: Melville & Baker, 2010)
Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 16 Universitas Indonesia b
End Stoma End stoma merupakan jenis kolostomi yang dibuat dengan memotong usus
dan mengeluarkan ujung usus proksimal ke permukaan abdomen sebagai stoma
tunggal. Usus bagian distal akan diangkat atau dijahit dan ditinggalkan dalam
rongga abdomen. Gambar 2.2 menunjukkan gambar dari end stoma. Gambar 2.2 End
Sigmoid (Sumber: Mellville & Baker, 2010) c Fistula Mukus Fistula mukus
merupakan bagian usus distal yang dikeluarkan ke permukaan abdomen sebagai
stoma nonfungsi. Biasanya fistula mukus terdapat pada jenis stoma double barrel
dimana segmen proksimal dan distal usus di keluarkan ke dinding abdomen sebagai
dua stoma yang terpisah, seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.3 berikut.
Gambar 2.3 End Colostomy dan Fistula Mukus (Sumber: Mellville & Baker,
2010) d Tube Caecostomies Stoma pada Tube Caecostomies bukan merupakan stoma
dari kolon, karena kolon tidak dikeluarkan hingga ke permukaan Asuhan
keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 17 Universitas Indonesia abdomen.
Tipe kolostomi ini menggunakan kateter foley yang masuk ke dalam sekum hingga
ujung apendiks pasca operasi apendiktomi melalui dinding abdomen. Kateter ini
membutuhkan irigasi secara teratur untuk mencegah sumbatan 2.3.3
Masalah
Kesehatan yang Terjadi akibat Kolostomi Masalah yang banyak terjadi pasca
pembuatan kolostomi adalah iritasi pada kulit di sekitar stoma (Smeltzer &
Bare, 2002). Iritasi pada area kulit peristomal banyak terjadi terutama pada
lansia, disebabkan oleh lapisan epitel dan lemak subkutan yang semakin tipis
karena proses penuaan sehingga kulit menjadi semakin mudah mengalami iritasi
(Smeltzer & Bare, 2002). Pada dasarnya, bahan pada kantong kolostomi yang
menempel pada permukaan kulit sudah didesain agar tidak menyebabkan iritasi
pada kulit (WOCN, 2008). Ostomate (individu yang memiliki stoma) dengan kulit
yang sensitif mungkin membutuhkan tes skin patch jika mengeluhkan adanya
beberapa reaksi terhadap penempelan beberapa kantong kolostomi. Gambar 2.4
menunjukkan gambar area kulit yang mengalami alergi terhadap pemasangan kantong
kolostomi. Gambar 2.4 Allergic Contact Dermatitis (Sumber: Eucomed, 2012)
Individu yang memiliki stoma memiliki resiko terkena infeksi Candida albicans
yang biasa dikenal sebagai infeksi ragi atau jamur (Eucomed, 2012). Hal ini
dikarenakan kulit peristomal memiliki karakteristik hangat, lembap dan tertutup
(oleh kantong kolostomi) dimana lingkungan ini kondusif terhadap pertumbuhan
jamur. Kulit yang terkena infeksi ini akan berubah menjadi kemerahan dan terasa
Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 18 Universitas Indonesia
gatal. Medikasi topical antifungal dapat dioleskan pada area yang terkena
infeksi. Gambar 2.5 menunjukkan gambar kulit peristomal yang terkena infeksi
Candida albicans. Gambar 2.5 Infeksi Candida albicans (Sumber: Eucomed, 2012)
Rasa gatal, panas dan seperti terbakar pada area penempelan kantong kolostomi
mengindikasikan adanya lecet, ruam ataupun infeksi pada kulit (WOCN, 2008). Hal
terpenting dalam pencegahan infeksi pada kulit adalah dengan melakukan
perawatan kulit peristomal dengan baik. Pemasangan kantong kolostomi yang
sesuai dengan stoma merupakan pencegahan utama terjadinya iritasi dan infeksi
pada kulit. Skin barrier (dalam bentuk salep ataupun bedak) dapat diberikan
pada area peristomal 30 detik sebelum kantong kolostomi ditempelkan pada kulit
(Smeltzer & Bare, 2002). Masalah lain yang biasa dikeluhkan oleh ostomate
adalah pengeluaran gas dan bau dari stoma, konstipasi dan diare (Eucomed,
2012). Pengeluaran gas dan bau pada stoma menjadi masalah pada ostomate karena
berbeda dengan pengeluaran melalui anus, pengeluarannya melalui stoma tidak
dapat dikontrol. Gas yang terdapat pada saluran pencernaan didapatkan dari
beberapa jenis makanan seperti makanan berpengawet, brokoli, kubis, jagung,
timun, bawang, dan lobak. Gas juga didapatkan dari menelan udara (secara tak
sengaja) pada saat berbicara, makan, merokok dan sebagainya (Eucomed, 2012).
Oleh karena itu ostomate dianjurkan untuk mengunyah makanan secara perlahan
untuk meminimalkan udara yang masuk. Bau pada gas atau feses yang dikeluarkan
juga dapat diakibatkan oleh beberapa makanan Asuhan keperawatan ...,
Manggarsari, FIK UI, 2013 19 Universitas Indonesia seperti telur, keju, ikan,
bawang, dan kubis (Canada Care Medical, n.d). Konstipasi dapat terjadi pada
ostomate akibat diet yang tidak seimbang, serta intake makanan berserat ataupun
cairan yang kurang (Gutman, 2011). Apabila ostomate mengalami konstipasi maka
perlu peningkatan asupan makanan berserat seperti gandum, sayur dan buat, serta
asupan cairan. Hampton (2007) merekomendasikan minimal konsumsi 8-10 gelas air
per hari, atau 1,5 hingga 2 liter air per hari (dapat termasuk teh, kopi
ataupun jus). Melakukan aktivitas fisik ringan seperti bersepeda, jogging juga
dapat membantu meningkatkan pergerakan bowel dan mengatasi konstipasi. Diare merupakan
bertambahnya kompisisi cairan pada feses disertai dengan frekuensi BAB yang
meningkat dari kebiasaan normal individu (Eucomed, 2012). Akibat dari diare
adalah hilangnya cairan dan elektrolit pada tubuh indvidu. Diare umumnya
terjadi pada pasien dengan ileostomi namun dapat terjadi juga pada klien dengan
kolostomi. Individu dengan pembuatan stoma di kolon asenden dan transversal
akan mengalami perubahan konsistensi feses seperti diare, namun hal ini normal
karena penyerapan air pada kolon asenden dan transversal masih minimal.
Penatalaksanaan diare, seperti halnya konstipasi, meliputi manajemen diet. Pada
saat diare terjadi, individu akan beresiko kehilangan banyak kalium, sehingga
butuh asupan makanan mengandung kalium seperti pisang, jeruk, tomat, ubi,
kentang, dan gandum (Canada Care Medical, n.d). 2.3.4 Komplikasi Stoma
Komplikasi atau masalah pada stoma dapat muncul setelah pembedahan kolostomi,
di antaranya paling banyak terjadi pada tahun pertama pasca pembedahan (Truven
Health Analytics, 2012). Beberapa komplikasi akan dijelaskan sebagai berikut:
Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 20 Universitas Indonesia a
Retraksi Stoma Retraksi merupakan kondisi dimana stoma tertarik ke dalam
abdomen. Retraksi dapat terjadi bila kolon tidak segera aktif pasca pembedahan
kolostomi. Bertambahnya berat badan juga memungkinkan untuk terjadinya
retraksi. Tipe kantong kolostoma harus disesuaikan agar pas dengan bentuk stoma
setelah terjadi retraksi. Retraksi belum menjadi sebuah komplikasi berat dari stoma
jika retraksi stoma ke dalam abdomen < 5 cm dari batas permukaan abdomen.
Gambar berikut merupakan contoh dari retraksi stoma. Gambar 2.6 Retraksi Stoma
(Sumber: Eucomed, 2012) b Hernia Peristomal Hernia dapat terjadi bila ada
bagian dari kolon di dalam abdomen yang menekan atau menonjol di area sekitar
stoma. Hernia akan tampak semakin jelas ketika pasien sedang duduk, batuk
ataupun mendesak abdomen (peningkatan tekanan intra abdomen). Beberapa pasien
membutuhkan penggunaan sabuk khusus, ataupun rekomendasi untuk operasi guna
memperbaiki kondisi hernia tersebut. Gambar berikut merupakan contoh hernia
peristomal.
Asuhan
keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 21 Universitas Indonesia Gambar 2.7
Hernia Peristomal (Sumber: Eucomed, 2012) c Prolaps Prolaps dapat terjadi
akibat proses pembukaan dinding abdomen yang terlalu lebar, fiksasi bowel pada
dinding abdomen yang tidak adekuat ataupun akibat peningkatan tekanan intra
abdomen. Prolaps yang disertai dengan iskemia atau obstruksi bowel, ataupun
prolaps yang berulang dapat direkomendasikan untuk pembedahan ulang. Gambar
stoma yang mengalami prolaps akan ditampilkan pada gambar 2.8. Gambar 2.8
Prolaps pada Stoma (Sumber: Eucomed, 2012) d Perdarahan Perdarahan stoma segera
setelah operasi disebabkan oleh hemostasis yang tidak adekuat selama konstruksi
stoma. Penyebab lain yang mungkin mengakibatkan perdarahan adalah adanya
penyakit penyerta hipertensi portal, trauma oleh ujung tube saat irigasi atau
pencukuran area sekitar abdomen atau cedera. Perdarahan ringan kadang
memerlukan agen hemostasis topical, atau hanya penekanan langsung. Perdarahan
masif atau berulang Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 22
Universitas Indonesia memerlukan penanganan faktor penyebab perdarahan,
sedangkan pasien dengan hipertensi portal memerlukan sclerotheraphy atau
portosystemic shunting. e Iskemik dan Nekrosis Stoma Iskemik dan nekrosis stoma
dapat terjadi akibat adanya penekanan pada pembuluh darah sekitar stoma. Stoma
yang baru dibuat melalui operasi harus di observasi setiap 4 jam sekali untuk
mengkaji kondisi stoma, apakah suplai darah ke stoma adekuat atau tidak. Stoma
yang tersuplai darah yang baik berwarna merah ataupun pink. Stoma yang berwarna
ungu, coklat atau hitam menunjukkan adanya suplai darah yang inadekuat. Stoma
yang sudah nekrotik membutuhkan operasi sebagai intervensi utama. Gambar 2.9
Nekrosis pada Stoma (Sumber: Eucomed, 2012) f Stenosis Stenosis merupakan
penyempitan atau konstriksi pada ujung stoma. Hal ini dapat terjadi akibat
adanya pembentukan jaringan scar di sekitar stoma yang menyebabkan stoma
berangsur terhimpit dan menyempit. Gambar 2.10 menunjukkan stoma yang mengalami
stenosis. Gambar 2.10 Stenosis pada Stoma (Sumber: Eucomed, 2012) Asuhan
keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 23 Universitas Indonesia 2.3.5
Asuhan Keperawatan Pasien dengan Kolostomi a Perawatan Kolostomi Kolostomi akan
mulai berfungsi optimal sekitar 3-6 hari pasca pembedahan (Smeltzer & Bare,
2002). Perawatan kolostomi yang rutin akan dilakukan oleh pasien ataupun care
giver baik di rumah sakit ataupun di rumah ialah mengganti kantong kolostomi
dan membersihkan stoma. Kantong kolostomi adalah wadah untuk menampung feses
yang keluar dari stoma. Kantong kolostomi dibuat dari material disposable atau
digunakan hanya sekali, lalu dibuang. Jenis kantong kolostomi saat ini cukup
beragam. Kantong kolostomi yang biasa digunakan ialah kantong kolostomi
one-piece tertutup yang jika terisi harus segera dibuang dan diganti. Kantong
kolostomi one-piece drainable memungkinkan pasien untuk membuang feses yang ada
dalam kantong dengan membuka lubang yang ada di bawah kantong, seperti yang
terlihat pada gambar 2.11 berikut. Gambar 2.11 Kantong Kolostomi (keterangan
gambar dari kiri ke kanan: kantong one-piece drainable,kantong one-piece
tertutup, drainable pouch untuk sistem two-pieces, flange untuk sistem
two-pieces) (Sumber: Gutman, 2011) Perawatan kolostomi yang pertama ialah cara
mengganti kantong kolostomi dan membersihkan area stoma. Kantong kolostomi
sebaiknya dikosongkan atau diganti ketika kantong sudah terisi 1/3 bagian agar
pasien tetap nyaman dengan kantong Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI,
2013 24 Universitas Indonesia kolostominya. Kantong kolostomi yang dapat
dikosongkan, dibersihkan dan digunakan kembali adalah jenis kantong kolostomi
two-piece system atau kantong yang memiliki lubang drainase di bawahnya. Truven
Health Analytics Inc. (2012) memaparkan, kantong kolostomi harus dikosongkan
jika sudah 1/3 atau 1/2 penuh. Kantong kolostomi yang penuh akan menjadi berat
dan dapat merusak perlengketan kantong kolostomi dengan kulit abdomen, selain
itu kantong akan beresiko untuk robek atau rusak karena beban dalam kantong
meningkat. Kantong kolostomi yang penuh juga akan membuat benjolan di balik
pakaian dan dapat mengganggu penampilan. Kantong kolostomi drainable dapat
dikosongkan dengan menekan bagian bawah kantong, kemudian mengeluarkan feses
langsung ke dalam toilet. Kemudian kantong dapat dibersihkan atau dibilas
meskipun Truven Health Analytics Inc mengatakan hal ini tidak begitu penting
untuk dilakukan. Gambar 2.12 menunjukkan cara mengosongkan kantong kolostomi.
Gambar 2.12 Cara Mengosongkan Kantong Kolostomi (Sumber: Truven Health
Analytics Inc, 2012) Burch (2008) dalam Burch (2013) menyatakan mayoritas pasien
dengan kolostomi mengganti kantong kolostominya 3 kali sehari hingga 3 kali
seminggu, dengan rata-rata penggantian kolostomi secara rutin selama satu hari
sekali. Ketika akan mengganti dengan kantong yang baru, perhatikan ukuran dari
lubang kantong kolostomi. Ukuran lubang kantong kolostomi harus sesuai dengan
Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 25 Universitas Indonesia
stoma, beri kelonggaran sekitar 1/8 inci atau sekitar 0,3 cm (Canada Care
Medical, n.d). Penggantian kantong kolostomi dimulai dengan melepaskan
perlekatan kantong kolostomi dengan kulit abdomen secara perlahan sambil
sedikit menekan kulit abdomen yang menempel dengan kantong, kemudian bersihkan
stoma. Stoma dibersihkan dengan air, jika ingin menggunakan sabun, gunakan
sabun yang tidak mengandung minyak ataupun parfum karena dapat mengiritasi
(Truven Health Analytics Inc, 2012). Kulit di sekitar stoma harus dijaga agar
tetap kering. Perawatan kolostomi erat kaitannya dengan perawatan kulit.
Perawatan kulit di sekitar stoma dilakukan bersamaan dengan penggantian kantong
kolostomi. Beberapa orang menggunakan air hangat saat melepaskan kantong stoma
dari kulit abdomen, agar lebih mudah dan nyaman pada kulit. Terkadang kulit
akan terlihat kemerahan atau lebih gelap segera setelah perekat kantong
kolostomi dilepaskan, namun akan segera normal beberapa menit (WOCN Society,
2008). Hal ini dimungkinkan karena terjadi penekanan pada area kulit selama
kantong terpasang, atau kantong kolostomi dilepaskan secara cepat dari kulit
abdomen. Pasien ataupun care giver dapat sekaligus mengobservasi stoma setiap
mengganti kantong kolostomi. Stoma yang normal akan terlihat merah atau pink
terang, lembap, tidak mengerut dan tampak seperti membran mukosa oral (Borwell,
2011). Stoma normal akan memiliki produksi feses, tidak ada sumbatan serta
tidak ada nyeri. Stoma yang tidak sehat atau mengalami nekrosis ditunjukkan
dengan warna hitam atau biru kehitaman. Permukaan stoma yang tidak sehat akan
tampak kering, terdapat darah yang terus keluar, stoma menonjol atau masuk ke
dalam sebanyak 5 cm, ujung stoma mengerut, sedikit atau tidak ada produksi
feses dan terdapat nyeri pada area stoma. Asuhan keperawatan ..., Manggarsari,
FIK UI, 2013 26 Universitas Indonesia Hal lain yang perlu diperhatikan dalam
perawatan kolostomi ialah terkait perubahan eliminasi BAB. Pasien dengan
kolostomi tidak dapat mengontrol BAB sehingga akan beresiko mengalami gangguan
eliminasi BAB. Tindakan perawatan yang dapat dilakukan adalah irigasi
kolostomi. Irigasi kolostomi merupakan suatu cara untuk mengeluarkan isi kolon
(feses), yang dilakukan secara terjadwal dengan memasukkan sejumlah air dengan
suhu yang sama dengan tubuh (hangat) (Putri, 2011). Irigasi memungkinkan pasien
untuk menjadwalkan pengeluaran feses dari stomanya. Pergerakan bowel baiknya
dalam keadaan regular dan bebas dari masalah saat akan dilakukan irigasi
kolostomi. Irigasi kolostomi tidak dapat dilakukan bila pasien mengalami
iritasi pada ususnya, prolaps stoma, hernia peristomal ataupun komplikasi stoma
lainnya (Putri, 2011). Irigasi stoma juga tidak dapat dilakukan pada stoma yang
terdapat pada kolon asenden dan tranversal. Alat yang dapat digunakan untuk
proses irigasi kolostomi meliputi kontainer atau wadah air, tube (selang untuk
mengalirkan cairan), cone dan plastic sleeve (Burch, 2013). Plastic sleeve
berguna untuk mengalirkan keluaran feses dan cairan irigasi ke dalam toilet.
Gambar 2.13 Water Container, Tube, Cone & Plastic Sleeve (Sumber: Gutman,
2011) Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 27 Universitas
Indonesia Cara melakukan irigasi adalah sebagai berikut (Burch, 2013; Putri,
2011; Smeltzer & Bare, 2002): · Isi wadah
dengan air hangat, tinggikan setinggi bahu (posisi duduk di toilet) ·
Alirkan cairan irigasi hingga ke ujung selang (membuang udara yang ada di
sepanjang selang) · Posisikan kantong stoma (plastic
sleeve) ke toilet · Olesi pelumas atau pelicin cone (jelly)
sebelum masuk ke stoma · Masukkan cone kedalam stoma dengan
perlahan, kemudian alirkan cairan sebanyak 300-500cc ·
Untuk hasil yang maksimal, alirkan kembali 500cc-1000cc, tahan selama 10 detik
setelah cairan mengalir · Biarkan feses, cairan dan flatus keluar
dari stoma menuju toilet melalui sleeve selama 10-15 menit. ·
Tutup kantong atau ganti kantong dengan kantong kolostomi biasa dan bereskan
alat. Gambar 2.14 Irigasi Kolostomi (Sumber: Smeltzer & Bare, 2002) Setelah
irigasi selesai dilakukan, pasien dapat melakukan aktivitas, meskipun selama
30-45 menit akan tetap ada pengeluaran baik feses, cairan ataupun flatus.
Setelah bersih, kantong kolostomi dapat diganti kembali seperti biasa. Readding
(2006) dalam Burch (2013) mengatakan ketika irigasi selesai Asuhan keperawatan
..., Manggarsari, FIK UI, 2013 28 Universitas Indonesia dilakukan, small cap
untuk stoma dapat digunakan untuk memungkinkan pasien terbebas dari pengeluaran
feses dan flatus hingga irigasi selanjutnya. b Diet Nutrisi Pasien dengan
kolostomi tidak dapat mengontrol pengeluaran feses dan flatus, oleh karena itu
edukasi terkait nutrisi perlu diberikan kepada pasien agar terhindar dari
gangguan odor ataupun konsistensi feses yang tidak normal. Beberapa hal yang
perlu diperhatikan terkait nutrisi pada pasien dengan kolostomi ialah (Canada
Care Medical, n.d; Gutman, 2011) : · Mengurangi
makanan yang menimbulkan bau, yaitu kubis, kol, keju, telur, ikan, kacang
polong, bawang, jengkol, pete · Mengurangi makanan yang mengandung gas
seperti dengan brokoli, kubis, bawang, timun, jagung dan lobak, serta makan
secara perlahan dengan mulut tertutup untuk meminimalkan udara yang masuk ke
dalam sistem pencernaan. · Menambah makanan yang mengandung
potassium seperti pisang, daging (non lemak), jeruk, tomat, kentang jika
mengalami diare. Kurangi konsumsi keju, selai kacang, dan susu. ·
Mengatasi konstipasi (jika terjadi) dengan menambah makanan tinggi serat ·
Makan tiga kali sehari penting untuk meningkatkan aktivitas usus dan mencegah
produksi gas ·
Gangguan pada pencernaan dapat juga berasal dari tekanan emosional, stress,
atau kurangnya aktivitas fisik c Toleransi Aktivitas Individu dengan kolostomi
dapat beraktivitas sebagaimana individu lainnya. Hanya saja dalam pemilihan
jenis olahraga, hindari olahraga yang membutuhkan kontak fisik yang keras yang
Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 29 Universitas Indonesia
mungkin dapat menyebabkan cedera pada abdomen (khususnya stoma). Ostomate juga
dapat melakukan olahraga renang dengan memilih desain baju renang yang menutupi
kantong kolostomi yang terpasang pada abdomen, serta desain baju yang sedikit
ketat agar lebih nyaman saat berenang. Kantong kolostomi harus tetap terpasang
saat berenang untuk menjaga kebersihan stoma. Perekat waterproof dapat
ditambahkan untuk lebih merekatkan kantong kolostomi pada kulit abdomen, jika
dibutuhkan. Kantong kolostomi baiknya dikosongkan sesaat sebelum berenang,
kemudian hindari makan berat atau banyak sebelum melakukan olahraga renang.
Ostomate dapat melakukan traveling, tentunya dengan persiapan penggantian
kantong kolostomi yang cukup. Bagi ostomate yang melakukan irigasi secara
rutin, tetap harus berhati-hati dalam penggunaan air untuk irigasi. Apabila air
yang ada di lokasi travelling mungkin dinyatakan tidak aman untuk dikonsumsi,
maka jika ingin digunakan untuk kolostomi, air tersebut harus direbus terlebih
dahulu, kemudian di diamkan dalam temperatur ruangan dan dapat digunakan untuk
irigasi (Canada Care Medical, n.d). d Support Sosial Individu yang baru
memiliki stoma biasanya akan ragu dan bertanya, bagaimana mereka dapat hidup
dengan stoma pada tubuhnya, apakah mereka masih dapat menjalin hubungan dengan
keluarga, relasi ataupun partner kerja, serta apa yang akan terjadi bila
tiba-tiba kantong kolostomi yang sedang terpasang robek (Burch, 2013).
Ketidakyakinan ini dapat diantisipasi dengan adanya kehadiran perawat spesialis
ataupun support group (Ferrer et al, 2010 dalam Burch, 2013). Berbagi pada
orang yang dipercaya, teman, keluarga, perawat, guru spiritual, serta orang
Asuhan keperawatan ..., Manggarsari, FIK UI, 2013 30 Universitas Indonesia lain
yang juga memiliki stoma dapat mengurangi ketidaknyamanan tersebut. Selain
support sosial, ostomate juga harus memiliki pandangan positif terhadap
hidupnya, kesabaran dan sensasi humor untuk menghadapi setiap situasi sosial
yang dirasakan terkait kolostominya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar